Senin, 10 Maret 2014

Menggugat KPK Lewat Teater


Dipublikasikan di Harian FAJAR Makassar,

edisi Minggu 2 Maret 2014

Sebuah karya yang berkualitas tidak hanya mengedepankan unsur hiburan. Karya merupakan media untuk menyampaikan amanat. Setidaknya, dalam sebuah karya yang berkualitas, terdapat dua dimensi amanat, yakni menggugat dan menggugah. Hal inilah yang dilakukan oleh siswa SMA Athirah Makassar yang tergabung dalam Teater Baruga. Melalui teater sebagai sebuah karya seni, siswa SMA Athirah Makassar menggugat KPK yang dikenal sebagai lembaga anti rasuah. Sepeti apa gugatan yang disampaikan?
Pada tanggal 13 Februari 2014, SMA Athirah Makassar mengikuti Festival Teater Pelajar ke-12 di Jakarta. Dalam ajang tersebut, SMA Athirah Makassar menampilkan teater dengan judul “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”. Kisah ini diangkat dari sastra drama karya Prusdianto Jalil dan disutradarai oleh Ahmad Zulfikri. Judul ini mirip dengan judul legenda “Bawang Merah Bawang Putih”. Tidak menutup kemungkinan, judul drama yang ditampilkan terinspirasi dari legenda tersebut.
Legenda “Bawang Merah Bawang Putih” sudah tidak asing bagi penikmat seni. Kisah ini sudah digubah ke dalam berbagai bahasa dan jenis seni pertunjukan. Bahkan legenda tersebut telah merambah layar kaca lewat sinema elektronik (sinetron). Publik pun sudah tidak asing dengan karakter bawaan kedua tokoh utama dalam legenda tersebut.
Dari judul “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”, publik akan bertanya-tanya, seberapa banyak tokoh utama dalam pertunjukan tersebut. Judul ini terkesan tidak efektif. Tentu berbeda dengan legenda “Bawang Merah Bawang Putih” yang tokoh utamanya hanya Bawang Merah dan Bawang Putih. Alangkah panjangnya jika penulis mencantumkan semua tokoh “bawang” dalam judul, sehingga disimpulkan dengan “bawang-bawang lainnya”. Meski demikian, “bawang-bawang lannya” pun terkesan masih panjang. Jika memang dalam pertunjukan tersebut terdiri dari beberapa tokoh utama yang disimbolkan dengan “bawang”, cukup diberi judul “Bawang” saja.
Judul sebagai bagian dari karya adalah hak Prusdianto Jalil sebagai penulis naskah. Tentu di balik keinginan tersebut, terdapat pesan yang ingin diungkapkan, maka diberikanlah “penekanan” pada judul.  Sekilas terlihat penekanan dalam judul terdapat pada “bawang putih”. Namun jika dikaji lebih dalam, penekanan tersebut terdapat pada “bawang-bawang lainnya”. Ada apa dengan “bawang-bawang lainnya”?
Di akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia mendapat hadiah tahun baru dari KPK. Hadiah tahun baru yang dimaksud adalah penahanan mantan ketua umum partai berkuasa yang disangkakan kasus korupsi. Publik pun berterima kasih kepada KPK. Namun di balik penahanan tersebut, ada yang mengganjal hingga KPK mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Dalam surat pemanggilan tersangka, KPK mencantumkan kalimat “kasus-kasus lainnya”. Kata “kasus-kasus lainnya” itulah yang mendapat sorotan, bukan hanya dari kubu tersangka, bahkan dari pengamat dan praktisi hukum. Tidak sedikit pengamat yang meminta KPK untuk mengganti surat tersebut dengan merinci kasus-kasus yang dimaksud. Dalam surat resmi, apalagi yang menyangkut kasus hukum, kata “kasus-kasus lainnya” dinilai tidak tepat. KPK tidak boleh beralasan mungkin karena terlalu banyaknya kasus yang melibatkan tersangka, sehingga cukup ditulis “kasus-kasus lainnya”.
Menulis dokumen resmi tentu berbeda dengan menulis karya fiksi. Dalam karya fiksi, seorang pengarang memiliki hak penuh atas karyanya. begitu juga dengan Prusdianto Jalil dalam karyanya “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”. Meski demikian, sebuah karya yang telah menjadi konsumsi publik, secara otomatis juga menjadi milik publik. Memiliki karya sebagai konsumen diartikan berhak memberikan penilaian atas karya tersebut.
Dari judul tersebut tersirat kritik yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada KPK. Melalui judul karyanya, pengarang menggugat KPK yang menunjukkan arogansi dalam menuliskan redaksi. Pengarang tentu menyadari bahwa judul yang digunakan terlalu panjang atau tidak efektif. Namun itulah pilihannya. Pengarang membiarkan publik sebagai apresiator memberikan penilaian tersendiri berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Selasa, 28 Januari 2014

Citra Lelaki Bugis-Makassar dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

Dipublikasikan di Harian FAJAR Makassar, 

edisi Minggu 12 & 19 Januari 2014


Akhir tahun 2013, demam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) sangat terasa di semua lapisan masyarakat lintas generasi. Perbincangan tentang TKVDW tidak hanya dalam forum diskusi formal dan non formal, tetapi juga marak menjadi bahan diskusi di media sosial, seperti facebook dan twitter. Semua ini tidak terlepas dari rencana pemutaran perdana film TKVDW yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dengan judul yang sama. Film garapan Sunil Soraya tersebut diputar perdana pada tanggal 19 Desember 2013 mendatang.
Animo penonton film, khususnya di Makassar, terbilang sangat tinggi. Jauh sebelum pemutaran perdana film tersebut, berbagai wujud penasaran publik bermunculan dan menjadi tranding topic diskusi di dunia maya. Bagi pembaca novel, mereka penasaran dengan upaya sutradara menampilkan kisah ini dalam bentuk visual yang betul-betul disesuaikan dengan isi buku. Bukan tanpa alasan rasa penasaran ini muncul, karena beberapa karya sastra sebelumnya yang diangkat ke layar lebar, dinilai jauh dari ilustrasi cerita dalam novel. Lain halnya dengan penikmat film semata. Mereka penasarsan dengan cerita tentang novel ini yang mengangkat tanah Bugis-Makassar sebagai salah satu latar tempat. Apalagi film ini digaungkan mengupas tentang perbandingan budaya dua daerah, yakni Bugis-Makassar dan Minangkabau.
Sebagai karya sastra angkatan pujangga baru yang diterbitkan perdana pada tahun 1937, tentu novel TKVDW telah banyak melahirkan sarjana bidang bahasa dan sastra Indonesia. Pembahasan tentang karya sastra ini sudah sering menghiasi meja ujian skripsi. Berbagai bentuk apresiasi pun telah dipertahankan untuk meraih gelar sarjana. Selain karya tulis ilmiah berupa skripsi, tulisan berupa artikel dan resensi dapat ditemukan di dunia maya. Salah satu di antaranya sebuah artikel dengan judul “Matrilineal dalam Novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ Karya HAMKA” yang termuat di blog http://afatlagosi.blogspot.com/2010/11/matrilinear-dalam-novel-tenggelamnya.html?m=1.
Meskipun Buya Hamka selaku penulis cerita adalah orang Minangkabau, namun dalam kisah ini dapat diidentifikasi citra atau karakter lelaki Bugis. Seperti yang dikutip dari blog di atas, kisah TKVDW merupakan gambaran kegalauan Buya Hamka pada kondisi budayanya yang matrilineal. Buya Hamka yang juga dikenal sebagai seorang ulama Muhammadiyah tentu tidak terlalu sependapat dengan budaya matrilineal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Untuk melukiskan kegalauannya, Buya Hamka menghadirkan kisah taaruf antara Zainuddin yang berasal dari Bugis-Makassar dan Hayati yang merupakan suku Minangkabau. Hubungan keduanya pun tidak dapat dilanjutkan karena persoalan budaya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena terlahir dari ibu berdarah Bugis-Makassar. Meskipun ayahnya berdarah Minangkabau, Zainuddin tetap dianggap sebagai suku Bugis-Makassar. Inilah yang menjadi awal konflik dalam kisah tersebut. Perjalanan kisah cinta Zainuddin dan Hayati dengan segala tantangannya adalah media yang digunakan Buya Hamka untuk mengungkapakan ketidaksetujuannya dengan budaya matrilineal yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam. 
Dalam kisah TKVDW, Buya Hamka mengangkat latar tempat tanah Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran tokoh Zainuddin. Diceitakan sebelumnya bahwa Pendekar Sutan (ayah Zainuddin) adalah seorang Minangkabau yang mengembara karena diusir dari tanah kelahirannya. Pengasingan diri Pendekar Sutan juga tidak terlepas dari persoalan matrlineal di tanah kelahirannya. Pendekar Sutan tidak terima sistem pembagian warisan ayahnya yang telah meninggal. Pendekar Sutan tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya karena dia seorang laki-laki yang tidak memiliki saudara perempuan. Pendekar Sutan pun membunuh Datuk Mantari Labih yang masih terhitung kerabatnya karena mengambil semua harta warisan ayah Pendekar Sutan. Pendekar Sutan pun dihukum atas perbuatannya. Setelah menjalani hukuman, Pendekar Sutan hijrah ke Tanah Bugis-Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah, seorang gadis berdarah Bugis-Makassar.
Buya Hamka memilih Bugis-Makassar sebagai tempat berlabuh Pendekar Sutan tentu bukan tanpa alasan. Imajinasi Buya Hamka melayang hingga ke pulau Sulawesi karena melihat budaya patrilineal di daerah ini potensial untuk diperbandingkan dengan budaya matrilineal di Minangkabau. Persepsi Buya Hamka terhadap budaya Bugis-Makassar didasarkan atas pengalamannya selama bekerja sebagai guru di Makassar. Meski banyak penelitian yang menunjukkan sistem sosial bilateral yang dianut Bugis-Makassar, tapi masuknya Islam diyakini telah banyak mempengaruhinya, termasuk sistem garis keturunan patrilineal. Hal ini dapat dilihat dari salah satu nilai kearifan lokal Bugis “amboq-e mappabbati” yang berarti menarik garis keturunan dari ayah.
Sebagai tokoh yang lahir dan dibesarkan di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin tumbuh dengan karakter lelaki Bugis-Makassar. Buya Hamka seakan lupa bahwa ayah Zainuddin seorang Minangkabau. Hanya karena lahir di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin disemati karakter Bugis-Makassar. Tentu karakter ini diturunkan dari Daeng Habibah (ibu Zainuddin) yang berdarah Bugis-Makassar. Sadar atau tak sadar, Buya Hamka menanamkan matrilineal pada tokoh Zainuddin.

Citra Lelaki Pelaut

Sudah sangat tepat Buya Hamka mengangkat latar tempat Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran Zainuddin. Eksistensi masyarakat Bugis-Makassar sebagai pelaut dengan kapal pinisinya sudah terkenal ke penjuru negeri. Kisah tentang Sawerigading, La Maddukkelleng, dan Amannagappa adalah sebagian dari kisah-kisah manusia Bugis-Makassar yang bersahabat dengan laut. Citra inilah yang kemudian disematkan pada tokoh Zainuddin dalam cerita TKVDW.
Menginjak usia remaja, pergolakan batin Zainuddin tentang sosok ayah mulai mencuat. Terlebih Zainuddin tidak mengenal sosok ayahnya karena Pendekar Sutan meninggal saat Zainuddin masih dalam kandungan. Tekanan psikologis pun berdatangan dari kerabat dan lingkungan masyarakat. Zainuddin tidak dianggap sebagai orang Bugis-Makassar, tetapi orang Minangkabau. Hal ini disebabkan ayah Zainuddin adalah orang Minangkabau. Jiwa pelaut muncul dalam diri Zainuddin. Dia berniat mengarungi lautan mengembara ke pulau Sumatera untuk mencari keluarga ayahnya. Citra lelaki Bugis-Makassar sebagai pelaut sudah mulai muncul dalam diri Zainuddin.

Citra Patrilineal

Sesampainya di Batipuh, tanah kelahiran ayahnya, Zainuddin berhasil bertemu dengan rumpun keluarga ayahnya. Karena telah mendengarkan kisah hidup ayahnya dari Daeng Base (dalam cerita dituliskan Mak Base), kerabat yang mengasuhnya, Zainuddin tidak menuntut banyak pada keluarga ayahnya. Mengingat dirinya seorang laki-laki yang mengembara ke negeri matrilineal, Zainuddin sudah merasa sangat bersyukur bisa diterima tinggal di rumah salah seorang kerabat ayahnya.
Meski sudah tinggal beberapa waktu di Batipuh, citra lelaki Bugis rupanya masih tersemat dalam diri Zainuddin. Dia merasa tidak nyaman dengan kondisi yang dihadapinya. Sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku mengusik kejiwaannya. Zainuddin pun sering mencurahkan perasaannya pada seorang gadis Minangkabau bernama Hayati. Perkenalannya dengan Hayati memunculkan masalah yang menjadi inti konflik dalam cerita. Zainuddin jatuh cinta pada Hayati, dan begitu pula sebaliknya. Mereka akhirnya saling mencintai.
Perasaan memang tidak dapat ditolak datangnya. Namun sikap Zainuddin yang mengungkapkan perasaan cintanya pada Hayati bisa dinilai salah. Zainuddin seakan lupa adat istiadat di daerah negeri Minangkabau yang matrilineal. Sebagai lelaki, Zainuddin tidak merasa bersalah jika mengungkapkan perasaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya karakter patrilineal Bugis yang melekat pada tokoh Zainuddin.
Karena kecintaannya pada Hayati, Zainuddin berharap bisa melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan menjadi pasangan halal. Namun harapan Zainuddin bertepuk sebelah tangan. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena tidak dianggap sebagai orang Minangkabau. Adat istiadat di daerahnya tidak membolehkan menikahkan seorang anak perempuan Minangkabau dengan lelaki asing.

Citra Lelaki Menjunjung Siri

Manusia Bugis sangat dikenal dengan sikap menjunjung tinggi siri (harga diri). Namun terkadang konsep siri ini disalahartikan. Atas nama siri, banyak orang yang melakukan perbuatan negatif yang tidak semestinya dilakukan. Hal inilah yang sempat dialami oleh tokoh Zainuddin. Rencana pernikahan Hayati dengan Azis, lelaki pilihan orang tuanya, sempat membuat Zainuddin gelap mata. Zainuddin berniat bunuh diri karena merasa malu dan patah hati.
Beruntung, rencana itu digagalkan oleh Muluk, sahabat Zainuddin. Muluk menasihati Zainuddin dan memberikan semangat kepada Zainuddin. Muluk melihat melihat potensi menulis pada diri Zainuddin. Atas saran sahabatnya, Zainuddin hijrah ke Jakarta, lalu ke Surabaya, dan menjadi seorang penulis terkenal dengan nama Tuan Shabir. Tulisan-tulisan Zainuddin pun dibaca oleh Hayati yang pindah ke Medan mengikuti suaminya. Meski tak mengetahui bahwa karya tersebut adalah tulisan Zainuddin, namun Hayati meyakini bahwa Tuan Shabir itu adalah Zainuddin. Hal ini disebabkan oleh kisah-kisah yang ditulis Tuan Shabir mirip dengan kisah hidup Zainuddin.
Perjalanan rumah tangga Hayati dan Azis rupanya tak berjalan mulus. Karena tabiat buruk Azis, dia bangkrut dan hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, mereka bertemu dengan Zainuddin dalam sebuat pertunjukan karya Tuan Shabir yang tak lain adalah Zainuddin. Mereka kemudian menjalin hubungan baik layaknya saudara. Baik Zainuddin, maupun Hayatid dan Azis, tidak pernah mengungkit masa lalu mereka.
Di Surabaya, tabiat buruk Azis tidak berubah. Azis kembali bangkrut dan harus menitipkan Hayati pada Zainuddin. Di sini kembali terlihat citra manusia Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi siri pada diri Zainuddin. Selama Hayati tinggal di rumahnya, Zainuddin lebih memilih tinggal di hotel karena menghindari munculnya fitnah. Tak lama setelah kepergian Azis, datanglah sepucuk surat dari Azis yang menyatakan menceraikan Hayati.
Dengan kepergian Azis, Zainuddin bisa kembali merajut hubungannya dengan Hayati. Namun kali ini, citra lelaki Bugis-Makassar menjadi penghalang hubungan mereka. Egoisme Zainuddin sebagai lelaki muncul dengan menolak Hayati menjadi istrinya. Zainuddin sebagai seorang pemuda tidak bisa menerima Hayati yang sudah berstatus janda. Hal ini dapat dilihat dari ucapan Zainuddin kepada Hayati dengan mengatakan, “Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.” Sikap yang ditunjukkan Zainuddin adalah bentuk perwujudan menjunjung tinggi harga diri (siri) sebagai seorang pemuda. Dengan segala yang dimilikinya, Zainuddin bisa saja menikah dengan siapa pun gadis yang diinginkannya.

Citra Lelaki Bertanggung Jawab

Terlepas dari persoalan cinta dan harga diri, tokoh Zainuddin dapat dikatakan sebagai cermin lelaki yang bertanggung jawab. Meskipun Zainuddin pernah disakiti, namun dia tetap menerima Hayati tinggal di rumahnya. Zainuddin tidak merasa dendam, baik pada Hayati, maupun pada Azis. Selama tinggal di rumahnya, Zainuddin merasa bertanggung jawab atas segala kebutuhan Hayati. Bahkan ketika Hayati hendak pulang ke Padang, Zainuddin membelikan tiket kapal untuk tumpangan Hayati.
Secara apik, Buya Hamka telah menggambarkan beberapa citra lelaki Bugis-Makassar dalam novelnya. Namun di balik semua itu, ada citra lelaki Bugis-Makassar yang luput dari pengamatan Buya Hamka. Saat tokoh Zainuddin patah hati yang membuatnya gelap mata hingga ingin bunuh diri, itu sama sekali bukan bentuk pengamalan siri dalam masyarakat Bugis-Makassar. Pada umumnya, lelaki Bugis-Makassar yang ditinggal nikah oleh kekasih hatinya, akan segera mencari pengganti. Bukan sebagai pelampiasan, melainkan ungkapan bentuk pengamalan siri yang dianut masyarakat Bugis-Makassar.
Secara finansial, tokoh Zainuddin digambarkan orang yang mapan. Meski demikian, Buya Hamka tidak menghadirkan citra lelaki poligami yang banyak oleh (sebagian) lelaki Bugis-Makassar. Adagium Bugis yang sering diartikan “banyak uang ganti istri” tidak berlaku dalam kisah ini. Namun jika kembali pada hakikat tokoh Zainuddin, pandangan Buya Hamka dapat dibenarkan. Secara garis keturunan yang benar berdasarkan ajaran Islam, Zainuddin bukanlah orang Bugis-Makassar, melainkan Minangkabau. Di sisi lain, Buya Hamka juga ingin menunjukkan kualitas cinta Zainuddin kepada Hayati. Kesetiaan Zainuddin diungkapkan dengan sebuah lukisan bergambar paras Hayati dengan tulisan “Permataku yang Hilang”.
Dalam kisah nyata, beruntung Ibu Mufidah berasal dari keluarga Muhammadiyah yang menjunjung nilai-nilai ajaran Islam. Meski Ibu Mufidah berasal dai Padang, sebuah negeri matrilineal, Bapak Jusuf Kalla (JK) dari negeri Bugis-Makassar tidak perlu mengikuti jejak hidup Zainuddin dalam mewujudkan cintanya. Serupa tapi tak sama dengan kisah cinta Pak JK dan Ibu Mufidah. Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, yang merupakan keturunan Bugis-Makassar berhasil mempersunting Rosmah Mansor, seorang gadis keturunan Minangkabau. Kisah cinta keduanya telah menembus batas budaya matrilineal.

Jumat, 13 April 2012

Profesionalitas Aparatur Negara Dipertanyakan

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat. Bahkan beberapa daerah telah merancang program RT/RW Net, yakni jaringan internet yang sampai ke tingkat RT/RW. Tentu saja tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah masyarakat mampu mengakses informasi secara cepat melalui internet. Di kalangan masyarakat, kata internet bukan lagi hal baru bagi mereka. Hadirnya layanan jejaring sosial semakin mendekatkan masyarakat dengan dunia maya.
Beberapa lembaga pendidikan telah menggunakan jaringan internet dalam pengelolaan data di institusinya. Hal ini dapat dilihat dari pendaftaran online yang dilakukan pada perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru. Langkah cerdas seperti ini yang harus menjadi contoh bagi lembaga-lembaga negara untuk mengelola administrasi dan data kepegawaian pada lingkup masing-masing. Terlebih ketika adanya permintaan data dari luar yang merupakan atasan langsung lembaga tersebut.
Sayangnya, perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh aparatur negara. Para stok aparatur negara seakan tidak siap menerima tantangan teknologi di era global saat ini. Mereka lebih cenderung menggunakan cara manual yang menyita waktu, materi, dan tenaga dalam pengelolaan data. Tentunya ini bukan lagi cara cerdas mengingat bahwa cara ini sudah sangat konvensional di era modern.
Salah satu contoh ketertinggalan aparatur negara yang dapat kita lihat adalah pendataan kepegawaian yang masih menggunakan cara manual. Para pegawai mengantre di depan loket lembaga yang mengurusi kepegawaian hanya untuk mendaftarkan dirinya. Tentu saja dilengkapi dengan tumpukan kertas berkas tanda pengabdian. Ironisnya, di antara antrean tersebut terdapat beberapa orang guru yang sering mengajarkan tentang penggunaan dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi kepada siswanya. Tentunya tidak etis jika siswa tidak belajar hanya karena gurunya mengurusi nasib yang semestinya sudah mendapat pelayanan dari negara melalui lembaga yang ditugaskan mengurusi kepegawaian.
Pada tahun 2005, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengadakan pendataan tenaga honorer di semua daerah. Ini merupakan langkah awal yang baik dan tepat untuk mengetahui kuantitas dan kualitas honorer di Indonesia. Namun tidak ada tindak lanjut yang tepat dari program ini. Terbukti sejak keluarnya daftar nama pegawai honorer yang dibagi dalam 2 (dua) kategori, masih ada pendataan-pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini memberi pelung munculnya pegawai siluman yang selalu melengkapi berkas demi memenuhi keinginan penguasa. Padahal, lembaga yang mengurusi kepegawaian tidak perlu repot-repot meluangkan waktu dan tenaga hanya untuk program pendataan karena lembaga yang mempekerjakan pegawai secara rutin memasukkan laporan bulanan tentang data kepegawaian di lembaga masing-masing, baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy.
Contoh lain dari ketidaksiapan lembaga yang mengurusi kepegawaian dalam mengurusi nasib pegawai adalah pembaharuan SK sertifikasi guru. Guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi dan sudah mendapatkan sertifikat, tiap tahunnya harus memasukkan berkas layaknya baru mengusulkan penerbitan SK atau sertifikat. Padahal data yang dimasukkan tiap tahun tidak berbeda. Tentunya hanya dengan memasukkan SK/sertifikat yang sudah diterima sebelumnya, SK/sertifikat baru bisa diterbitkan sebagai pengganti untuk menerima tunjangan profesi sesuai pengabdiannya.
Tata kelola negara di era modern mestinya sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jika program ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, seorang pegawai tidak perlu lagi meninggalkan tugas pokoknya hanya untuk mengurusi nasib. Setiap lembaga mestinya dilengkapi dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang memuat data lembaga tersebut, baik fisik, non fisik, maupun SDM yang ada di dalamnya. Pemberdayaan aparatur negara harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Senin, 07 November 2011

Mari Berhitung

Sejak dari bangku Sekolah Dasar kita telah belajar ilmu hitung atau sebutlah matematika. Ilmu hitung masuk dalam kategori ilmu pasti. Dalam ilmu pasti, tak pernah ada jawaban yang rancu. Kita selalu mendapatkan jawaban yang sama jika jawaban kita memang benar. Soal-soal ilmu hitung yang paling menarik dipelajari kala itu adalah menghitung biaya pembelian atau penjualan dan menghitung jarak tempuh atau kecepatan tempuh kendaraan. Kedua materi tersebut tergolong sangat menarik karena dapat langsung diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat.

Menariknya kedua materi ilmu hitung tersebut tentunya tidak hanya di bangku sekolah, tapi lebih lagi dalam kehidupan kita. Untuk itu, tak ada salahnya jika kita mencoba menggunakan ilmu yang telah didapatkan di bangku sekolah untuk menghitung suatu fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Fenomena tersebut sudah sering terjadi namun tidak banyak yang peduli dan mau mencari kebenaran yang hakiki.

Salah satu ilmu hitung yang sudah sepatutnya kita gunakan untuk menghitung fenomena tersebut adalah menghitung kecepatan, jarak, dan waktu tempuh. Walaupun ini hanyalah sebuah analogi, namun sekali lagi tak ada salahnya jika kita menggunakan ilmu tersebut untuk mencari kebenaran. Fenomena yang dimaksud adalah perbedaan perhitungan yang terjadi antara Pemerintah RI dan Ormas Muhammadiyah.

Seperti kita ketahui bahwa Muhammadiyah telah melaksanakan Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan Pemerintah RI menetapkan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Namun ironisnya, perayaan Hari Raya Idul Adha dilaksanakan bersamaan yakni tanggal 6 November 2011. Kedua kendaraan tersebut berangkat di hari yang berbeda yakni beda 1 hari, tapi ternyata bisa tiba di tempat yang sama pada hari yang sama.

Muhammadiyah berangkat tanggal 30 Agustus 2011 dari Kota Idul Fitri menuju Kota Idul Adha, sedangkan Pemerintah RI berangkat tanggal 31 Agustus 2011 dengan tujuan yang sama. Kecepatan kedua kendaraan pun sama, yakni 24 jam/hari dan menempuh jalur yang sama yakni Ahad s.d. Sabtu, serta tidak pernah berhenti sama sekali. Namun kenyataannya kedua kendaraan tersebut tiba di Kota Idul Adha pada hari yang sama, yakni 6 November 2011. Jika kita cermati, semestinya waktu tiba kedua kendaraan tersebut beda 1 hari karena waktu berangkatnya juga beda 1 hari.

Lantas, siapa yang salah hitung?

Senin, 26 September 2011

Gelapnya Purnama di Indonesia

“Gelap”, inilah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana purnama di Indonesia. Bulan purnama yang sering muncul pada malam ke-15, justru menghilang saat 15 Syawal 1432 H. Berdasarkan ketetapan pemerintah melalui Menteri Agama RI, 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Ini berarti masyarakat Indonesia akan menyaksikan cerhnya purnama pada tanggal 13 September 2011. Namun tak ada hujan dan mendung pada malam harinya, langit di atas bumi pertiwi justru tampak gelap. Tak ada tanda-tanda munculnya bulan purnama. Padahal malam sebelumnya, yakni pada tanggal 12 September 2011, langit tampak cerah dengan cahaya rembulan yang begitu sempurna.

Pemerintah Republik Indonesia tampaknya sedang senang-senangnya bermain dalam gelap-gelapan. Purnama yang sering dinanti oleh masyarakat untuk sekadar bermain-main di bawah terangnya sinar rembulan, ternyata gelap tanpa gangguan cuaca yang berarti. Entah permainan apa yang tengah direncanakan pemerintah dan jajarannya? Paling tidak, ini merupakan gambaran kondisi negara saat ini. Semua serba gelap karena tak ada yang terbuka dan tak mau menerima kebenaran hingga menenggelamkan rakyat dalam kebodohan.

Kasus demi kasus terungkap namun semuanya seakan tak ada artinya karena ada pihak yang lebih sigap menutup lubang sumber informasi sehingga semuanya terasa gelap. Rakyat menjadi penonton setia melihat aksi-aksi para birokrat yang dipertontonkan di layar TV. Ada pihak yang berusaha mengungkap penyelewengan, namun sepertinya lebih banyak pihak yang menginginkannya ditutup saja. Ibarat punama yang mestinya dinikmati indahnya oleh masyarakat, namun justru dipelintir agar masyarakat terlena dan waktu purnama pun terlewatkan hingga masyarakat hanya menemukan kegelapan pada malam yang mereka yakini sebagai malam bulan purnama. Masyarakat tak boleh tahu apa dan mengapa negara saat ini.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Birokrasi Gila Foto

Dewasa ini industri percetakan berkembang pesat. Desainer-desainer pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Tempat-tempat umum ramai dengan aksesoris berupa spanduk dan baliho besar yang memuat foto para birokrat dan politisi. Eksistensi artis sebagai bintang reklame mulai tergusur oleh wajah-wajah yang ingin numpang terkenal. Tak mengherankan jika akhirnya banyak artis yang ingin beralih profesi menjadi birokrat dan politisi karena merasa lahan pencarian mereka sudah mulai direnggut kalangan tertentu.

Ketika banyak orang yang mau mejadi artis, beberapa artis justru memilih beralih profesi menjadi birokrat dan politisi. Sebut saja Dede Yusuf, Rano Karno, Tantowi Yahya, Rike Dyah Pitaloka, Alm. Adjie Massaid, Angelina Sondakh, Primus Yustisio, dan sebagainya. Kesuksesan mereka tentu tidak lepas dari popularitas yang disandang karena sering muncul di media informasi. Hal inilah yang ingin diikuti oleh para birokrat dan politisi yang lain. Kondisi seperti ini telah mengantar kita memasuki suatu revolusi di bidang birokrasi.

Dalam setiap kegiatan, baliho dan spanduk kegiatan tak luput dari sasaran pemajang foto. Ucapan selamat dan dukungan mengalir memenuhi ajang perhelatan bagai mata air yang bermuara di suatu tujuan. Tentunya hal itu dilakukan bukan tanpa sebab. Para pemajang spanduk dan baliho tidak sekedar mengucapkan selamat atau menyatakan dukungan terhadap suksesnya kegiatan, tetapi mereka juga ingin memperkenalkan wajah mereka melalui foto-foto yang dijadikan layout spanduk dan baliho.

Tidak hanya dalam perhelatan suatu kegiatan tertentu, aksi memajang foto sering kita dapati di tempat umum. Bahkan tidak sedikit yang menjadi penghuni pohon-pohon sepanjang jalan. Kalender dan jadwal imsakiyah ramadhan pun menjadi sasaran empuk tiap tahun untuk memajang foto. Ironisnya, seorang bupati yang memiliki belasan anak menjadi ikon sebuah reklame yang bertajuk “Dua Anak Lebih Baik” demi memajang foto di papan reklame. Eksistensi duta pun tergusur oleh keserakahan birokrat demi sebuah popularitas karena ingin dikenal oleh rakyat. Mengapa tak memilih saja warga yang memiliki dua orang anak yang berhasil untuk dijadikan sebagai Duta KB?

Sabtu, 06 Agustus 2011

Kata-Kata Hikmah

(Disadur dari Dialog dalam Film Para Pencari Tuhan Jilid 5)


Sesekali kita harus mengajari seseorang tentang cara menghargai orang lain (Aya)

Saya malu harus tetap tinggal dengan prestasi yang buruk. (Bang Jack)

Tidak ada kata cerai dalam Pramuka dan Hansip. (Udin)

Dalam setiap hal yang kita miliki, ada hak orang lain. (Asrul)

Seorang pengabdi agama tidak akan pernah pensiun. Dia akan terus berarti sebelum akhirnya mati. (Asrul)

Apalah arti ikhtiar seorang istri jika suami tidak ridha? (Bu Jalal)

Merasa beruntung dibanding orang lain hanya akan membuat kita bersikap sombong. Biarlah Allah yang menjuluki hamba-Nya sebagai hamba yang beruntung. (Mira)

Kasih sayang kadang membuat seseorang tidak bisa melihat kebenaran. (Azzam)

Kita akan selalu menemukan kekurangan pada pasangan kita dan menemukan kelebihan pada orang ketiga. Kalau kita lari pada orang lain, dia juga punya kekurangan dan kita lari pada orang selanjutnya. Sampai kapan kita akan terus mencari? Manusia itu tidak ada yang cocok. Yang ada hanya mencocokkan diri. (Bu Uztas)

Perceraian itu sesuatu yang dihalalkan tetapi dibenci oleh Allah. (Bu Uztas)

Kalau Allah berkehendak menurunkan keburukan pada seseorang, pasti orang itu akan meminta ditunda. (Bu Uztas)

Salah satu tanda-tanda akhir zaman adalah orang-orang berlomba membangun masjid megah tapi kosong dari umat. (Aya)

Untuk menjawab urusan perceraian, tidak bisa dengan akal, tapi harus dengan agama (Mira)

Kebaikan akan terlihat banyak ketika bercampur dengan keburukan. (Bu Jalal)

Simbol kekayaan harus dilepas daripada Allah menganggap kita tidak bisa mengurus rumah tangga. (Pak Jalal)

Tidak ada yang tahu kehendak Allah, kecuali Dia yang memberi tahu melalui hikmah dari setiap peristiwa yang kita alami. (Mira)

Dunia tidak bisa melihat keberadaan kita. Dunia hanya bisa melihat kita dari keringat yang jatuh karena kerja keras. (Bu Jalal)

Kalau kita berkaca, yang kita lihat adalah kebalikan. (Juki)