Selasa, 02 November 2010

Matrilinear dalam Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" Karya HAMKA


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah karya tersohor yang ditulis oleh HAMKA. Novel yang berisi kisah cinta antara seorang pemuda Zainuddin dengan seorang gadis bernama Hayati. Cinta mereka tidak mendapat restu keluarga Hayati. Pinangan Zainudin ditolak. Penolakan tersebut berawal dari persoalan adat istiadat yang telah turun-temurun dijalankan oleh masyarakat suku Minangkabau yang menjadi latar dalam cerita tersebut, yakni budaya matrilinear.

HAMKA menulis buku ini ketika berusia 31 tahun. Pada usia yang relatif masih muda, sikap kritis masih memenuhi jiwanya. Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” merupakan bentuk pemberontakan jiwa HAMKA pada kungkungan budaya matrilinear yang dianut masyarakat sekitarnya. HAMKA yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang religius menganggap budaya matrilinear tidak tepat. Hal ini bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Beberapa kutipan penggalan novel seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, menggambarkan nilai-nilai budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. Bentuk-bentuk penerapan budaya matrilinear yang dipaparkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” meliputi silsilah keluarga, pengaturan ahli waris, pernikahan, dan hubungan masyarakat.

Dalam silsilah keluarga, seorang anak tidak dianggap sebagai suku Minangkabau jika tidak dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Minangkabau. Bentuk penerapan nilai budaya matrilinear ini digambarkan oleh HAMKA melalui tokoh Zainuddin. Walaupun ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau, tetapi Zainuddin tetap dianggap orang asing karena dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Bugis-Makassar.

Zainuddin yang meninggalkan tanah kelahirannya di Makassar, pergi ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya yang masih hidup. Bukan tidak bertemu, tetapi pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya tidak seperti yang dibayangkan oleh Zainuddin. Zainuddin melihat betapa jauh perbedaan budaya antara Bugis-Makassar dengan Minangkabau.

Berbeda dengan suku lain di Indonesia, suku Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut budaya matrilinear. Dalam budaya matrilinear, seorang anak tidak berhak atas harta ayahnya. Jika ayahnya meninggalkan harta setelah wafat, harta tersebut harus beralih tangan ke saudaranya. Hal ini pulalah yang dialami oleh Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Zainuddin bermaksud tinggal di negeri Padang karena merasa memiliki hak atas harta ayahnya, ternyata harus menerima kenyataan yang berbeda. Zainuddin sama sekali tidak mendapatkan harta tersebut.

Dalam hal pernikahan, suku Minangkabau sangat menghargai kaum perempuan. Untuk memutuskan hal ikhwal pernikahan, perempuan juga dimintai pendapatnya. Hal ini dapat dilihat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Dalam novel ini, kaum laki-laki meminta pendapat kaum perempuan ketika membicarakan rencana pernikahan Hayati dengan Azis.

Tidak hanya seputar urusan keluarga. Nilai-nilai budaya matrilinear diterapkan juga dalam hubungan masyarakat. Orang-orang Minangkabau memandang sebelah mata terhadap suku lain. Suku Minangkabau menerima suku lain bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka sering membatasi hubungan tersebut. Penggambaran ini diungkapkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Zainuddin yang dianggap sebagai orang Bugis-Makassar terkadang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.

Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat melihat gambaran bahwa sebenarnya sang pengarang ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing.

Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan.


Dalam petualangan hidup Zainuddin mencari jati diri, Zainuddin harus meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Makassar, menuju Padang. Selama tinggal di tanah Makassar, Zainuddin merasa belum menemukan jatidiri yang sebenarnya. Orang-orang di sekelilingnya tidak menganggapnya sebagai orang Bugis-Makassar karena Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang berasal dari Padang dan bersuku Minangkabau. Suku Bugis-Makassar menganut garis keturunan patrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ayah. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menganggap Zainuddin sebagai orang Minangkabau.

Kondisi inilah yang menyebabkan Zainuddin meninggalkan Makassar menuju Padang dengan tujuan mencari keluarga ayahnya. Usaha Zainuddin tidak sia-sia karena berhasil menemukan keluarga ayahnya. Namun lagi-lagi Zainuddin harus terbetuk pada persoalan budaya Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ibu. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel di bawah ini.

Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut orang di Minangkabau dinamai “anak pisang”. Maklumlah orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya di tanah kelahiran leluhurnya ternyata tidak memenuhi keinginan Zainuddin untuk menemukan jatidirinya. Dia sama saja dengan orang asing di tanah kelahiran leluhurnya, karena adat dan budaya yang dianut oleh suku Minangkabau yang menyebabkan orang-orang di Padang menganggap Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang Bugis-Makassar.

Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka padanya, suka juga, tapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Perjalanan Zainuddin untuk mencari jatidirinya benar-benar terbentur pada masalah adat dan budaya. Zainuddin dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, Zainuddin ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari suatu suku, namun kenyataan yang dihadapi Zainuddin berbeda. Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Minangkabau dan seorang ibu yang bersuku Bugis-Makassar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan gambaran budaya matrilinear yang diangkat oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Hal lain yang menunjukkan budaya matrilinear dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ketika Zainuddin teringat pada pesan Mak Base sebelum Zainuddin berangkat ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya. Mak Base menyampaikan kepada Zainuddin bahwa suku Minangkabau berbeda dengan suku lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel berikut.

Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bkan pandangan sama rata, hanya da juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabaulain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diiambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang benar nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Kondisi yang dialami oleh Zainuddin tidak hanya menimpa dirinya, melainkan juga keturunannya kelak. Karena budaya matrilinear di negeri Padang, Zainuddin tidak boleh mewariskan gelar kepada keturunannya jika pun Zainuddin dipinjamkan gelar oleh keluarga ayahnya setelah menjalankan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh adat. Persyaratan peminjaman gelar dalam budaya matrilinear digambarkan oleh HAMKA dalam novelnya.

Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula itu kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan dilabuh nan golong nan ramai.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Budaya matrilinear dalam suku Minangkabau menempatkan suku lain sebagai orang asing walaupun masih ada ikatan darah. Hal inilah yang dialami oleh Zainuddin selama tinggal di Padang. Kakek-neneknya tidak dapat menahan Zainuddin untuk tinggal bersamanya.

Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, “Oh ... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.”
Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pendekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari “Bugis” ini.
Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22-23)

Kenyataan pahit harus dialami oleh Zainuddin ketika hubungan percintaannya diketahui oleh keluarga Hayati, kekasih hatinya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Tidak jelas asal-usulnya.

“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.”
Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanyal. Lalu dia berkata, “Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan keturunan?”
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan sembarang orang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 55)

Peringatan yang diterima Zainuddin dari keluarga Hayati mengingatkannya pada rencananya mencari jatidiri. Zainuddin menyadari bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Ketika berada di Makassar, dia disebut-sebut sebagai orang Minangkabau. Namun jika dia berada di Padang, dia disebut-sebut sebagai orang Bugis-Makassar. Zainuddin tidak dipandang sah sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya berdarah Minangkabau karena budaya matrilinear yang dianut di daerah tersebut.

.... Dia teringat dirinya, tak bersuku, rak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 56)

Budaya matrilinear semakin menyudutkan Zainuddin dalam pergaulan dengan masyarakat. Tidak hanya sampai di situ. Zainuddin juga harus mengorbankan perasaan cintanya kepada Hayati. Pihak keluaga Hayati menganggap Zainuddin tidak pantas mendampingi Hayati karena bukan dari golongan mereka. Zainuddin bukanlah orang Minangkabau.

“Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengammbil saja jadi istrinya.”
“Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.”
“Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?”
“Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear telah turun-temurun diwariskan di Minangkabau. Hal inilah yang diungkapkan oleh HAMKA melalui dialog tokoh dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Dialog yang mempersoalkan jatidiri Zainuddin sangat jelas menggambarkan pandangan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau.

“Kan ayahnya orang kita juga!” ujar seorang mamak yang agak muda.
“Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada: Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemanakan kita, ke mana kemanakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear lebih jelas dipaparkan oleh HAMKA melalui dialog antara Mulu, sahabat Zainuddin, dengan Hayati. Muluk mengingatkan kepada Hayati tentang peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Zainuddian terkait dengan hubungannya bersama Hayati yang dipisahkan oleh adat istiadat suku Minangkabau.
“Tak ada ranggas di Tanjung,
cumanak ampaian kain.
Tak ada emas dikandung,
dunsanak jadi ‘rang lain.”

Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya Tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 187)

Rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya HAMKA sangat kompleks dalam menggambarkan budaya matrilinear yang dianut oleh suku Minangkabau. Dalam novel ini diuraikan secara konkret nilai-nilai budaya matrilinear yang memebedakan suku Minangkabau dengan suku-suku lain, utamanya yang ada di Indonesia. Pengarang hanya menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai latar dalam cerita. Sorotan utamanya bukan pada persoalan kapal tersebut, melainkan pada persoalan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dan Hayati harus berpisah arah dan mengambil jalan masing-masing.

Emansipasi Wanita dalam Novel "Layar Terkembang" Karya Sutan Takdir Alisyahbana


Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur, juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf, Maria, dan Tuti.

Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan.

Ada beberapa bentuk emansipasi yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam novelnya, di antaranya aktivitas perempuan dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana mestinya, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang diperjuangkan oleh Tuti sebagai pelopor emansipasi wanita pada masanya.

Dalam hal berorganisasi, eksistensi kaum perempuan cukup diperhitungkan. Kaum perempuan dapat menjabat sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah perkumpulan seperti yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui tokoh Tuti dalam novel “Layar Terkembang”. Bahkan, tokoh Tuti digambarkan sebagai representasi kaum perempuan yang menginginkan kebebasan berdiri sendiri menentukan nasibnya.

Kaum perempuan dalam novel “Layar Terkembang” sangat berpedoman dan bercermin pada kegigihan sosok Tuti. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti selalu mendapat sambutan hangat dari pendengarnya. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti pada forum-forum atau rapat maupun kongres tidak jarang membakar semangat kaum perempuan untuk berjuang menuntut haknya sebagai manusia.

Pada setiap kesempatan menyampaikan pidato, Tuti selalu menyinggung persoalan perempuan. Tuti selalu menggambarkan kondisi perempuan yang hitam dan kelam, bahkan lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, hidup sendiri, melainkan hanya sebagai hamba sahaya. Perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki yang seakan tidak mempunyai hak.


Dalam novel ini juga, tergambar pula pandangan Sutan Takdir Alisyahbana dalam menyikapi hubungan suami-istri dalam keluarga. Hal ini dapat kita lihat dari keteguhan hati dan sikap Tuti yang menginginkan hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni saling menghargai. Tuti tidak ingin menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki.

Dua tokoh utama wanita yang bersaudara dalam novel ini mempunyai perbedaan sifat dan perilaku yang memperkuat kesan perjuangan menuntut emansipasi wanita yang dilakukan oleh Tuti. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai. Tuti adalah seorang wanita modern yang aktif dalam berorganisasi dalam perkumpulan perempuan, bahkan menjabat sebagai ketua. Dia selalu memikirkan nasib kaum perempuan yang menurutnya sangat tertindas. Sedangkan adiknya, Maria, tidak aktif sama sekali selain organisasi di sekolah.

Novel “Layar Terkembang” mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1920-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.

Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel “Layar Terkembang ditulis di era 1920-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya, wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam novel “Layar Terkembang”). Gambaran wanita tidak lagi pesimis yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.

Kehadiran novel ini pada masanya merupakan dorongan bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya, karena adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu kaum perempuan hanya bertugas membina rumah tangga. Akan tetapi, Sutan Takdir Alisyahbana membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada perjalanan karier Tuti.

Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berikut ini akan disajikan beberapa kutipan penggalan novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengindikasikan adanya bentuk emansipasi wanita yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya.

Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tidada pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.

(Layar Terkembang, 2002:8)

Dari kutipan penggalan novel di atas, dapat kita lihat sosok Tuti yang termasuk seorang aktivis organisasi perempuan yang menggambarkan emansipasi wanita. Bahkan Ia mendapat kesempatan untuk membacakan pidato pada sebuah kongres organisasi yang diadakan di Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh perempuan yang lain pada masa itu.

“Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-mana,” ujar Yusuf pula. “Zus masuk Putri Sedar jugakah?”
“Ah tidak,” jawab Maria. “Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan baru.”
“Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita? Keputrian Pemuda Baru, misalnya, baik benar bagi gadis-gadis yang masih sekolah.”
“Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai.”
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak. Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja? Apa-bila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama untuk kepentingan orang banyak.”

(Layar Terkembang, 2002:15)

Dalam kutipan penggalan novel di atas, dihadirkan sosok laki-laki yang mendukung keaktifan perempuan pada organisasi. Dalam percakapannya dengan Maria (adik Tuti), Yusuf berusaha memengaruhi Maria agar mau bergabung dengan perkumpulan pemuda menjadi anggota atau pengurus. Yusuf menganggap bahwa perkumpulan merupakan tempat belajar selain di sekolah.

“Sedikit hari lagi tiba libur…” kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada sambungannya, maka katanya. “Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk ujian lima belas hari lagi.”
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
“Jadi, Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan?”
“Ya,” Maria mengangguk.
“Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika sudah ujian itu nanti?”
“Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru.”
“Menjadi guru? Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita. Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insaf merasa menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya megucapkan selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu…”

(Layar Terkembang, 2002:17)

Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja. Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-anak bangsa yang cerdas dan pintar.

Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu kedengaran pula teriak orang, “Hidup Tuti! Hidup Tuti!” tiada berhenti-henti.

Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memcahkan bunyi tepukan itu sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.

Dalam sepi yang sepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah, “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.


“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.

(Layar Terkembang, 2002:34-40)

Kutipan penggalan novel di atas menggambarkan tekad Tuti yang merupakan representasi semangat perempuan yang ingin menuntut emansipasi. Kaum perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam pergaulan di masyarakat. Dalam pidatonya, Tuti menguraikan kondisi perempuan yang tertindas dan selalu berada di bawah perintah kaum laki-laki. Perempuan seakan tidak boleh bersuara dan berkehendak. Namun, Tuti berusaha mengajak kaum perempuan untuk bangkit dan mengejar hak-haknya sebagai manusia yang tiada berbeda dengan kaum laki-laki. Bahkan Tuti beranggapan bahwa bangsa ini hanya akan berubah jika derajat kaum perempuan dikembalikan sebagaimana mestinya.

Setelah Rukmanah turun, duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari.”
“Ah, dalam libur, apa salahnya!” kata Yusuf.
“Apa salahnya? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik.”

(Layar Terkembang, 2002:55)

Tuti memperlihatkan kejengkelannya pada adiknya Maria yang terlambat bangun. Bahkan Tuti mendebat Yusuf yang seakan mentolerir sikap Maria. Tuti beranggapan bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk itulah yang selama ini menyebabkan perempuan dipandang sebelah mata.

Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba menyambuk ingatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak demikian, perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya …. Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya.

(Layar Terkembang, 2002:75-76)

Tuti menyesalkan sikap adiknya, Maria, yang seakan menghambakan dirinya pada laki-laki. Maria sudah menggantungkan hidupnya pada Yusuf yang sangat ia cintai. Tuti menginginkan percintaan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni sama-sama menghargai. Itulah sebabnya Tuti memilih memutuskan percintaannya dengan Hambali karena ia merasa Hambali hendak mengatur hidupnya. Bahkan, Tuti lebih memilih tiada bersuami jika tidak saling menghargai hak masing-masing.

…. Sekali-sekali ada juga kecewa hatinya menginsafkan betapa lambatnya berubah pekerti kaum perempuan yang dipimpinnya dan betapa kuatnya berurat-berakar berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang turun-temurun. Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani menanggung jawab akan segala perbuatannya.
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.

(Layar Terkembang, 2002:137-138)

Tuti merasa kecewa melihat kondisi perempuan yang sangat sulit diubah pekertinya. Tuti pun merasa sangat susah menembus kuatnya adat dan kebiasaan yang telah dianut turun-temurun. Namun, Tuti tetap berusaha memperkuat dirinya dan menenamkan keyakinan pada dirinya.

Senin, 27 September 2010

Skripsi "Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis)

ABSTRAK

Abdullah
. 2010. Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis). Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar (dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri selaku Pembimbing I dan Munirah selaku Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan eksistensi mantra dalam kehidupan masyarakat Bugis Wajo; dan (2) mendeskripsikan karakteristik simbol dalam mantra Bugis dialek Wajo.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini hanya mengungkapkan apa adanya tentang makna simbol dalam mantra Bugis dialek Wajo, yang meliputi mantra cenningrara (pengasihan), parémboloq (kekebalan), paremmaq (hipnotis), pappasémpo dalléq (peruntungan), pabbura (pengobatan), dengan menggunakan pendekatan semiotik. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah simbol yang dijadikan dasar kajian yang berbentuk kata atau frase kata dalam mantra yang mengandung makna arbriter. Data berupa mantra yang dimaksud bersumber dari informan yang berdomisili di Kabupaten Wajo dan dianggap banyak mengetahui tentang mantra dengan memperhatikan latar belakang kehidupan informan tersebut disesuaikan dengan jenis mantra yang diberikan. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara yang disesuaikan dengan tujuan dan fokus masalah, kemudian diurut berdasarkan kekuatan dan kesesuaian isinya dengan tujuan pengkajian. Isinya dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian sistematis, padu, dan utuh. Analisis data dilakukan secara berulang-ulang dan bolak-balik (spiral) menurut keperluan, dengan fokus pada simbol yang terdapat dalam mantra Bugis dialek Wajo. Dengan demikian, proses analisis data dilakukan melalui tahapan (1) mereduksi data, (2) penyajian data dan (3) penyimpulan dan verivikasi.

Penelitian ini menyimpulkan hasil bahwa mantra Bugis telah beredar sejak lama dalam lingkungan masyarakat Bugis Wajo. Masyarakat menganggap mantra sebagai doa. Namun terlepas dari semua itu, jika ditinjau dari unsur yang membentuknya, mantra lebih banyak menggunakan simbol dan permainan bunyi (sound setrum) yang mengindikasikan eksistensi mantra sebagai karya sastra bergenre puisi. Simbol yang digunakan berupa nama benda, tindakan atau perlakuan, nama nabi, huruf Arab, dan nama Tuhan.

Cerpen "Hidup di Persimpangan Jalan"

Karya: Abdullah

“Etta, pulangmi Nurdin!” Seru adikku ketika melihatku dari arah kejauhan. Kulihat kedua ettaku bergegas keluar dari dalam rumah hendak menyambutku. Ada keceriaan dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Aku juga melihat titik-titik air yang keluar dari mata air air mata etta makkunraiku, tapi aku yakin itu adalah keharuan seorang ibu. Adikku membantuku mengangkat barang-barang yang aku bawa. Aku digiring masuk ke dalam rumah. Semua peristiwa tadi sore masih jelas di ingatanku.

Kini aku duduk menyendiri di beranda depan rumahku. Semilir angin malam menyapa tubuhku dan merasuk hingga ke sumsum tulangku yang paling dalam. Kutarik sarung yang menutupi kakiku hingga menyelimuti tubuhku, walau aku harus melipat kakiku. Kini tinggal kepalaku yang kelihatan menyaksikan suasana malam pedesaan yang sepi dan sunyi. Daerah yang jauh dari jangkauan gemerlap cahaya lampu jalan dan deru mesin yang terasa bising di pendengaran. Yang ada hanya cahaya rembulan dari sela-sela daun pohon rindang di depan rumahku dan suara binatang malam yang seakan mengalun. Entah lagu apa yang didendangkannya?

Ini malam pertama aku di desa setelah sekian lama meniti garis antartitik mencari kesejatian diri di kota. Tak banyak yang aku bawa pulang. Hanya sedikit bingkisan untuk kedua ettaku dan adikku satu-satunya. Tampaknya mereka tidak mengharapkan apa-apa dariku. Aku sudah pulang, itu saja sudah cukup bagi mereka. Tapi aku bisa berbangga karena telah banyak pengalaman yang aku dapatkan selama penitianku.
Lika-liku kehidupan yang rumit tak lepas dari pengamatanku. Masih jelas di benakku orang-orang membawa alat musik sambil memainkannya, mereka berkeliling kota sambil menjajakan suara yang tidak begitu merdu di setiap sudut kota. Ada juga sekelompok bocah, lato, dan kajau yang membawa kaleng bekas di depan traffic light.

Sementara itu, gedung-gedung mewah berbaris seakan menggambarkan kesejahteraan penduduk kota. Tapi siapa yang menyangka kalau di balik kemewahan itu, pemandangan yang kita temukan justru jauh lebih memprihatinkan dari sekelompok bocah, lato, kajau, dan, pengamen di jalanan. Dengan dalih kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja. Banyak lelaki yang bekerja sebagai juru masak, dan tak sedikit lelaki yang bekerja sebagai penata rias. Bukan itu yang memilukan hati, melainkan tingkah laku mereka yang menyerupai perempuan.

Kala malam tiba, gelap menyelimuti cakrawala, mereka keluar sekedar memenuhi kebutuhan lainnya. Rupanya mereka belum puas dengan apa yang mereka dapatkan dari bekerja seharian. Mereka bak artis papan atas bersaing mencari fans. Di sudut-sudut kota yang jauh dari gemerlap lampu jalan yang menyibak kegelapan malam, mereka bercengkrama dengan lelaki hidung belang yang kebanyakan telah beristri dan bahkan sudah punya anak. Sudah berapa banyak hak perempuan yang mereka ambil?

Tak herah kalau kaum perempuan sudah mulai turun ke jalan mengibarkan bendera emansipasi. Mereka ingin menuntut hak. Mereka berarak bak pawai berkeliling kota masih dengan bendera emansipasi. Tapi emansipasi dalam bentuk apa, jika tak jarang mereka ditemukan berduaan dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam kamar hotel yang mewah?

***

Kebutuhan demi kebutuhan yang mendesak menjadi alasan para waria itu bekerja siang dan malam. Siang hari mereka lalui dengan bekerja di dalam gedung mewah menggunakan keterampilan dan keahlian mereka. Malam hari mereka lewati dengan melenggok dan melenggang di depan lelaki hidung belang bak peragawati menawarkan kenikmatan. Tapi tidak sedikit juga di antara waria itu yang berdalih bahwa mereka memang dilahirkan dengan perasaan dan jiwa seperti kaum perempuan pada umumnya. Kalau memang itu benar, mengapa mereka tidak menjadi bissu saja?

Tak luput juga dari perhatianku, aparat keamanan yang tiap malam mengadakan razia di setiap tempat hiburan malam dan sudut-sudut kota. Mereka berkejar-kejaran dengan para pekerja seks komersial. Baik itu perempuan, maupun lelaki yang menyerupai perempuan. Tapi aku heran. Mengapa mereka bisa saja lolos dari razia itu? Bahkan keesokan harinya, ketika sang surya kembali menyinari cakrawala, burung-burung berkicau menyamput pagi yang indah, mereka kembali berkemas hendak bekerja. Tentu saja dengan dandanan mereka yang seperti Madona ataukah Britney Spears, seakan semalam mereka tak terjaring razia. Ataukah aparat keamanan juga sudah dapat bagian?

Pertanyaan demi pertanyaan terasa membengkak di benakku. Jawaban yang aku dapat harus kembali kepada kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin meningkat dan mendesak kita untuk berlomba mencapai puncaknya. Seperti yang dialami oleh salah seorang temanku semasa SD dulu, Firman, yang kini telah mengganti namannya menjadi Firma.

Masih segar di ingatanku, bagaimana dulu Firman adalah cerminan lelaki yang kuat dan kekar. Bahkan beberapa remaja perempuan di desaku pada saat itu memujanya. Mereka tertarik pada Firman. Beberapa di antara mereka terkadang berkata, “Man, kalau besarki’ nanti, maukiga jadi pacarku?” Tentu saja Firman merasa malu. Sementara aku cemburu setiap gadis-gadis di desaku menghampiri kami yang sedang mallogo di halaman rumah.

Anganku terus melayang membuka lembaran-lembaran diary kehidupan yang telah aku gores dengan tinta perjalananku. Aku tak mampu membuang memoriku tentang Firman. Aku teringat setiap kali kami mallogo di halaman rumah pada sore hari sepulang dari mengaji. Di saat-saat seperti itulah, biasanya Jamila, waria yang ada di desaku lewat. Spontan saja, Firman pergi sambil berkata, “Cilaka! Tidak dapatki’ lagi berkah empat puluh hari.” Seperti itulah anggapan orang-orang di desaku setiap kali bertemu dengan waria.

Kini Firman telah banyak berubah. Terakhir aku bertemu dengannya di sebuah salon saat aku hendak merapikan rambutku. Aku hampir tak mengenalnya seandainya bukan dia yang lebih dulu menyapaku. Saat itu, aku berusaha menyadarkannya. Tapi seperti yang lainnya, dia ingin hidup lebih mewah. Berulang kali aku membujuknya untuk bekerja sebagaimana layaknya seorang lelaki, tapi jawaban yang aku dapatkan tetap sama.

“Firman, kenapaki’ berbuat seperti ini?” Tanyaku pada Firman.
“Ssstt… Janganki’ keras-keras. Nanti nadengar orang. Bukanmi Firman namaku, tapi Firma.” Dengan gayanya yang khas waria dia menarikku ke tempat duduk. Dia memandang sekeliling ruangan. Rupanya dia tidak ingin diketahui identitasnya oleh teman-teman dan para pelanggannya. Tentu saja aku geli melihat tingkah lakunya. Tapi aku menyembunyikan gelagatku. Aku tidak ingin dia tersinggung.
“Terpaksaka’, Din. Sudah lamaka’ hidup di kota, tapi kehidupanku tetap saja seperti di desa. Mauka’ hidup mewah. Lagipula kerja begini lebih mudah. ‘Ndak perlu mengeluarkan tenaga yang banyak.”
“Apa ‘ndak muingat kalau dulu sangat kita benci bencong. Walau hidup bencong kelihatan mewah, tapi tetap sajaki’ anggap semua itu ‘ndak ada berkahnya. Bahkan seringki’ menghindar kalau bertemuki’ dengan bencong.”
“Itu dulu, Din, sebelumki’ melaluinya. Sekarang baruka’ rasakan, betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk tetap bertahan hidup. Nah, kalau adami jalan keluarnya, Kenapaki’ tidak lewati saja?”
“Lantas, sampai kapanki’ terus begini?”
Tanyaku lirih.
“’Ndak kutahumi, Din. Yang jelasnya, sekarang sudah bahagiama’ dengan pilihan hidupku.”

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Firman. Rupanya tekadnya betul-betul sudah bulat. Aku tak mampu menyadarkannya.

“Bagaimana dengan pekerjaanta’, Din?”
“Masih seperti duluka’. Rasanya ‘ndak ada bedanya tinggalka’ di desa sama di kota.”
Sebenarnya aku malu menuturkan hal itu pada Firman, tapi aku rasa bahwa aku masih lebih berharga daripada dia.
“Tidak berminatki’ seperti aku? Adami rumah sendiri, usaha sendiri, dan ‘ndak lagi bergantung pada orang lain.”
“Apa? ‘Ndak, Firman! Sedikitpun tidak tergodaka’ oleh kemewahanta’. Masih lebih jauh berhargaka’ daripada bencong yang demi kemewahan, rela menistakan diri. Ini siri, Firman.”
Aku meninggalkan Firman dengan segudang impiannya. Aku hanya bisa berharap, semoga Firman bisa menyadari apa yang telah ia perbuat.

Firman, sahabat kecilku, yang dulu sangat antipati terhadap waria, kini justru telah menjelma menjadi waria. Belum lekang di benakku tentang Firman yang selalu menghindar pada Jamila. Tiba-tiba aku teringat Jamila. Dimana dia sekarang? Aku beranjak dari tempat dudukku mencoba menyelidik ke luar, ke arah rumah mewah yang ada di depan rumahku. Di balik jendela, aku bisa melihat seorang lelaki tua sedang berjalan bungkuk. Benarkah itu Jamal yang dulu dikenal sebagai Jamila?

Aku perhatikan dari jauh. Ternyata benar, dia adalah Jamila. Kini dia sudah tua dan hidup sendiri di rumah mewah itu. Dia tidak punya keturunan yang bisa merawatnya. “Kasihan dia.” Bisikku lirih. Aku terus saja memperhatikan Jamila hingga timbul lagi pertanyaan dalam benakku. “Kalau waria tidak punya keturunan, bagaimana mereka bisa berkembang?”

***

Malam semakin larut. Udara terasa semakin dingin mengibarkan sarung yang menyelimuti tubuhku. Aku tak mampu lagi menahan dinginnya angin malam. Tiba-tiba suara ettaku terdengar memanggil. Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di tengah-tengah keluargaku. Tampaknya ada hal yang sangat penting yang ingin mereka bicarakan.

”Mauka’ bicara denganta’, Aco.” Terdengar suara etta buraneku memulai pembicaraan.
“Kenapaki’, Etta?”
“Ini menyangkut pendidikan adekmu, Ecce.”
Ettaku mengentikan sejenak pembicaraannya. Setelah menelan ludah yang menghalangi tenggorokannya, kemudian dia melanjutkannya kembali. “Tamatmi SMA adekmu. Maui kuliah. Sementara tidak bisaka’ lagi biayai kuliahnya.”

Aku hanya mampu terdiam dan tertunduk lesu ketika mendengar kata-kata ettaku. Aku sudah mengerti maksudnya. Tapi bagaimana aku bisa mewujudkan semua keinginan ettaku kalau gaji yang aku dapatkan selama ini sebagai seorang pegawai kecil di instansi hanya cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Aku juga tidak ingin mengecewakan kedua ettaku yang telah membanting tulang demi mewujudkan cita-citaku.

Aku menyesali diriku yang hanya pegawai kecil. Pikiranku semakin tak tenang, tapi aku berusaha bersikap tenang di hadapan kedua ettaku. Aku menyanggupi permintaan mereka. Aku tidak ingin dikatakan anak yang tidak tahu membalas budi kepada orang tuanya.
“Oh, Tuhan. Aku hanyalah seorang pegawai kecil. Haruskah aku berjuang keras untuk memenuhi kebutuhanku dan adikku, seperti yang dilakukan sahabat kecilku, Firman? Lalu, ettaku akan memanggilku ‘Ecce’.”


***

Lagosi, 17 Pebruari 2009

Catatan:

Aco : Sapaan orang tua terhadap anak laki-lakinya.
Bissu : Komunitas adat orang Bugis yang terdiri dari kaum waria yang merupakan orang kepercayaan raja.
Ecce : Sapaan orang tua terhadap anak perempuannya.
Etta : Sapaan orang Bugis untuk orang tua.
Etta burane : Ayah
Etta makkunrai : Ibu
Kajau : Perempuan yang sudah tua renta.
Lato : Laki-laki yang sudah tua renta.
Mallogo : Sejenis permainan rakyat orang Bugis.
Siri : Malu/memalukan. Dalam budaya Bugis, pantang orang-orang menyandang perasaan siri dan melakukan perbuatan yang membuahkan siri.

Sastra




Sebuah karya yang berkualitas tidak hanya mengedepankan unsur hiburan. Karya merupakan media untuk menyampaikan amanat. Setidaknya, dalam sebuah karya yang berkualitas, terdapat dua dimensi amanat, yakni menggugat dan menggugah. Hal inilah yang dilakukan oleh siswa SMA Athirah Makassar yang tergabung dalam Teater Baruga. Melalui teater sebagai sebuah karya seni, siswa SMA Athirah Makassar menggugat KPK yang dikenal sebagai lembaga anti rasuah. Sepeti apa gugatan yang disampaikan?


Baca selengkapnya....


CitraLelaki Bugis-Makassar dalam“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” 


Akhir tahun 2013, demam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) sangat terasa di semua lapisan masyarakat lintas generasi. Perbincangan tentang TKVDW tidak hanya dalam forum diskusi formal dan non formal, tetapi juga marak menjadi bahan diskusi di media sosial, seperti facebook dan twitter. Semua ini tidak terlepas dari rencana pemutaran perdana film TKVDW yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dengan judul yang sama. Film garapan Sunil Soraya tersebut diputar perdana pada tanggal 19 Desember 2013 mendatang.

Baca selengkapnya....


Tragedi Ruyati Dua Ribu Sebelas
(Puisi ini berhasil menjuarai Lomba Puisi Kemanusiaan dalam rangka Kemah Bakti dan Lomba VII PMR Wira se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di PKP KNPI Sudiang Makassar dan dibacakan oleh Nurfadilah, kontingen PMR SMAN 1 Sengkang)

Baca selengkapnya....


Nilai Sosial dalam Novel "Azab dan Sengsara" Karya Merari Siregar

Kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang lain.

Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul” bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia, tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang diperolehnya dalam masyarakat itu.

Baca selengkapnya ....


Matrilinear dalam Novel "Layar Terkembang" Karya HAMKA

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah karya tersohor yang ditulis oleh HAMKA. Novel yang berisi kisah cinta antara seorang pemuda Zainuddin dengan seorang gadis bernama Hayati. Cinta mereka tidak mendapat restu keluarga Hayati. Pinangan Zainudin ditolak. Penolakan tersebut berawal dari persoalan adat istiadat yang telah turun-temurun dijalankan oleh masyarakat suku Minangkabau yang menjadi latar dalam cerita tersebut, yakni budaya matrilinear.

Baca selengkapnya...


Emansipasi Wanita dalam Novel "Layar Terkembang" Karya Sutan Takdir Alisyahbana
Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur, juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf, Maria, dan Tuti.

Baca selengkapnya...


Skripsi "Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Wajo)"

Abdullah. 2010. Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis). Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar (dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri selaku Pembimbing I dan Munirah, selaku Pembimbing II

Baca selengkapnya...


Cerpen "Hidup di Persimpangan Jalan"
“Etta, pulangmi Nurdin!” Seru adikku ketika melihatku dari arah kejauhan. Kulihat kedua ettaku bergegas keluar dari dalam rumah hendak menyambutku. Ada keceriaan dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Aku juga melihat titik-titik air yang keluar dari mata air air mata etta makkunraiku, tapi aku yakin itu adalah keharuan seorang ibu. Adikku membantuku mengangkat barang-barang yang aku bawa. Aku digiring masuk ke dalam rumah. Semua peristiwa tadi sore masih jelas di ingatanku.

Baca selengkapnya...


Cerita Rakyat "LA WELLE"

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.

Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya. Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain.

Baca selengkapnya...

Cerita Rakyat "LA WELLE"

Disadur oleh: ABDULLAH

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.
Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya. Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain.

Ibunya menjelaskan bahwa kedua burung itu tidak lain ayah dan ibu burung-burung yang lain. Lawelle merasa heran karena selama ini dia tidak pernah merasa mempunyai ayah. Dia pun menanyakan tentang ayahnya. Ibunya menceritakan peristiwa yang dialami oleh ayahnya sehingga akhirnya dibunuh oleh Lamannuke.

Dalam rasa penasaran itulah, Lawelle menanyakan peninggalan ayahnya. Ibunya memberitahukan bahwa ayah Lawelle meninggalkan sebuah benda pusaka yang rencananya akan dibuat menjadi badik namun belum selesai. Benda itu disimpannya baik-baik. Lawelle pun mengambil benda tersebut yang sudah menyerupai sebuah badik namun belum tajam karena belum selesai betul dibuat oleh mendiang ayahnya.

Agar badiknya itu betul-betul jadi, Lawelle menanam jeruk pada lahan perkebunan yang sangat luas. Jeruk itu akan dijadikan sebagai bahan untuk mempertajam badiknya. Alhasil, jeruk itu tumbuh besar dan berbuah banyak. Lawelle menghabiskan semua hasil panen jeruk itu hanya untuk mempertajam badiknya hingga badik itu terlalu tipis seperti daun padi sehingga orang bugis menamakannya tappi maddaung ase, artinya badik yang tipis seperti daun padi. Berita tentang adanya tappi maddaung ase yang dimiliki Lawelle tersebar ke seluruh pelosok Wajo hingga tidak ada orang yang berani melawannya karena bekas luka yang ditorehkan akibat sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar luka apapun sehingga orang bugis menamakannya tennarapi pattawe.

Pada suatu hari, Lawelle yang sudah beranjak remaja memohon izin kepada ibunya untuk pergi mencari Lamannuke hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Ibunya pun mengizinkan karena sudah mengandalkan keberanian anaknya. Setiap perkampungan yang dilaluinya, Lawelle selalu bertanya tentang keberadaan Lamannuke. Semua orang yang ditanya pun terkejut melihat seorang remaja yang mencari Lamannuke hendak mengajaknya bertarung, sementara Lamannuke sangat terkenal kehebatannya karena dia memiliki ilmu pattawe (penawar luka). Namun, setelah tahu bahwa remaja yang mencari Lamannuke itu tak lain Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe, mereka pun maklum atas keberanian anak itu.

Setelah bertanya dan terus bertanya, akhirnya Lawelle berhasil bertemu dengan Lamannuke. Lawelle menantang Lamannuke berkelahi karena hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Celakanya, Lamannuke terlalu licik. Dia mencari akal agar tidak jadi bertarung dengan Lawelle. Rupanya Lamannuke pun telah mendengar tentang kehebatan Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe. Lamannuke memang punya ilmu penawar luka, tapi apalah artinya jika berhadapan dengan Lamannuke yang memiliki badik yang bekas sayatannya tak dapat disembuhkan dengan penawar apapun.

Alhasil, Lamannuke menemukan cara agar dapat menyingkirkan Lawelle. Dia menyangkal kalau dirinya yang telah membunuh ayah Lawelle. Lamannuke justru memfitnah Wa Becce yang dikenal dengan sebutan Bolong Mangngongngona Tana Kute. Orang tersebut adalah seorang ratu yang memerintah di sebuah negeri yang sangat kaya. Ratu tersebut terkenal sakti dan pemberani. Apabila ada kapal yang merapat di pelabuhan negeri tersebut, Wa Becce selalu berkokok seperti ayam dan apabila ada yang menjawabnya, maka mereka akan bertarung. Taruhannya pun tidak tanggung-tanggung. Apabila Wa Becce kalah, maka ia akan menyerahkan tampu kekuasaan di negerinya. Tetapi apabila lawannya kalah, maka ia akan mengambil seluruh isi kapal. Tampaknya taruhan itu memang menguntungkan bagi pemilik kapal karena tidak seimbang nilainya, tetapi tetap saja tidak ada yang berani melawan Wa Becce.

Atas petunjuk Lamannuke, Lawelle pun berangkat mengarungi lautan. Agar pelayarannya itu berjalan lancar, dia bekerja sebagai awak pada salah satu kapal tujuan Tana Kute. Tentu saja tidak ada orang yang tahu maksud Lawelle, karena kalau mereka tahu, mereka tidak akan mengikutkan Lawelle. Semua orang, terutama pemilik kapal, sangat takut pada Wa Becce. Bahkan, tidak ada kapal yang mau membawa ayam karena takut ayam tersebut akan menyahut jika Wa Becce berkokok seperti ayam.

Setelah berlayar cukup lama, akhirnya kapal yang ditumpangi Lawelle pun tiba di Tana Kute. Lawelle tidak sabar lagi menunggu adanya suara kokok ayam dari dermaga. Begitu mendengar suara kokok ayam, tanpa ragu-ragu, Lawelle pun menyahut. Tentu saja tindakan Lawelle itu membuat seisi kapal jadi terkejut dan sangat ketakutan. Pertarungan hebat pun terjadi antara Lawelle dan Wa Becce. Mereka beradu kekuatan dan kesaktian, hingga akhirnya badik Lawelle mengenai kulit Wa Becce. Melihat hal itu, Wa Becce tidak merasa khawatir sedikit pun karena dia memiliki penawar luka.
Namun malang nasib Wa Becce. Rupanya dia tidak tahu kalau bekas sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar apapun. Wa Becce gugur dalam pertarungan itu. Wa Becce yang selama ini selalu mengambil milik orang lain, akhirnya harus merelakan kerajaannya untuk dia serahkan kepada Lawelle. Tampu kekuasaan pun beralih pada Lawelle.

Konon, menurut si empunya cerita dan keyakinan masyarakat Wajo, Tana Kute yang dimaksud adalah Kerajaan Kutai yang berada di Kalimantan Timur. Lawelle tinggal memerintah di kerajaan tersebut. Berita tentang kemenangan Lawelle melawan Wa Becce pun tersebar hingga ke Wajo. Banyak orang-orang Wajo yang menyusul dan menetap di negeri tersebut dan beranak-cucu hingga sekarang.

Menanti Aksi Tokoh Perdamaian Dunia

Abdullah

Pemilu presiden telah berlalu dan presiden terpilih pun sudah menjabat selama hampir satu tahun. Tentu saja presiden terpilih adalah pilihan rakyat secara murni karena dipilih secara langsung, bukan melalui perwakilan di parlemen. Namun sepertinya rakyat tidak puas dengan pilihannya. Ini dibuktikan dengan maraknya aksi unjuk rasa, bahkan tidak jarang menuntut presiden mundur dari jabatannya.

Sejak dilantinya presiden dan wakilnya, sudah banyak digelar aksi unjuk rasa, mulai dari kasus Bank Century, kenaikan tarif dasar listrik, sampai hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus terakhir inilah yang menyebabkan popularitas presiden turun menurut beberapa lembaga survey yang telah merilis temuannya akhir-akhir ini. Berbagai komentar rakyat bermunculan tentang presiden yang dianggap tidak tegas dalam menyikapi persoalan dengan Malaysia. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menuding presiden penakut karena tidak berani menghadapi negara-negara lain.

Mendengar beberapa komentar dari rakyat, tentunya kita heran dan tercengang karena ini berbeda dengan sosok presiden yang kita kenal sebelumnya. Sang presiden sebagai ikon negara telah tercatat sebagai salah satu orang yang berpengaruh di dunia menurut salah satu majalah internasional. Lebih mengherankan lagi rakyat yang menuntut presiden mundur karena dianggap penakut, padahal kebanyakan mereka memilih presiden dulu karena dianggap berwibawa. Jika presiden kita berwibawa, tentunya negara lain tidak akan merampas kedaulatan negara kita.

Tak ada yang patut dipersalahkan dalam kasus ini terkait sikap presiden yang memilih berdiplomasi daripada menempuh jalur perang. Sikap presiden tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Masih banyak saudara kita bekerja di sana sebagai TKI. Jika jalur perang dipilih, tentunya banyak korban dari pihak kita, termasuk dalam hal pekerjaan. Rakyat pun tidak mau kalah karena selalu bercermin pada sikap presiden yang menyerukan mengganyak Malaysia, seperti yang sering ditayangkan di layar kaca.

Sebenarnya, pangkal persoalan yang kita hadapi sangat jelas. Negara kita butuh tokoh yang mampu meredam dan mendamaikan kedua belah pihak. Namun sampai detik ini, baik rakyat maupun pemerintah, tampaknya belum ada yang menemukan sosok tokoh perdamaian. Padahal, negara lain pernah menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa bidang perdamaian pada salah seorang mantan wakil presiden kita. Tentu saja gelar itu bukan sekadar pemberian, melainkan penghargaan pada orang yang dianggap memiliki kapasitas dalam hal perdamaian dunia yang cukup disegani.

Secara historis, mantan wakil presiden kita memiliki hubungan kekerabatan dengan Perdana Menteri Malaysia yang menjadi ikon negara tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa keduanya adalah perantau yang mengadu nasib di negeri orang. Keduanya diikat dengan tali persaudaraan suku Bugis-Makassar. Berikut kutipan penggalan puisi yang ditulis oleh Udhin Palisuri, seorang sastrawan dan budayawan Sulawesi Selatan.

Yang amat terhormat
Datuk Najib
Timbalan jadi perdana menteri
Leluhur dari Gowa
Istri orang Padang

Yusuf Kalla
Wakil presiden
Leluhur dari Bugis
Istri orang Padang

(Dibacakan pada Pembukaan Festival Budaya Serumpun Melayu tahun 2009 di Makassar)


Pertalian ini tentunya dapat dijadikan sebagai suatu referensi untuk mempertemukan keduanya dalam satu meja membicarakan persoalan kedua negara yang akhir-akhir ini bersitegang. Dalam raga keduanya, tentu masih mengalir darah Bugis-Makassar dengan keteguhan hatinya memegang prinsip “Sebenci-bencinya pada saudara sekampung, jika bertemu di perantauan, akan berdamai jua.” Kini kita tinggal menanti aksi tokoh perdamaian dunia yang telah mewakafkan hidupnya untuk kemanusiaan.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Kompleksitas Pembelajaran Seni Teater Menjawab Problematika Pembelajaran Seni Budaya


A. Hakikat Pembelajaran Seni Budaya

Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya.

Mata pelajaran Seni Budaya diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi. Mata pelajran Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.

Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.

B. Problematika Pembelajaran Seni Budaya

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang kini tengah diterapkan di sekolah sebagai satuan pendidikan telah menyita banyak waktu para guru untuk menyusun program pembelajaran. Setiap awal tahun pelajaran, para guru merencanakan program pembelajaran untuk satu tahun ke depan dengan memperhatikan masalah-masalah yang muncul pada proses pembelajaran tahun sebelumnya. Proses inilah yang kadang memancing guru melakukan penelitian tindakan kelas dengan harapan dapat memperbaiki kualitas pembelajaran yang diterapkannya. Namun, tidak sedikit juga guru yang kurang memperhatikan fenomena tersebut.

Khusus mata pelajaran Seni Budaya, salah satu problematika yang dihadapi guru mata pelajaran adalah kompleksitas materi yang diamanatkan dalam Permen Diknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Permen ini memuat materi berupa standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus diurai oleh guru mata pelajaran menjadi indikator-indikator pencapaian didasarkan pada potensi sekolah sebagai satuan pendidikan. Pada indikator itulah guru dan siswa bergelut untuk mencapai tujuan pembelajaran sesuai standar isi yang ditetapkan pemerintah.

Kompleksitas mata pelajaran Seni Budaya meliputi seni teater, seni musik, seni tari, dan seni teater. Keempat bidang seni inilah yang akan diajarkan kepada siswa dengan alokasi waktu yang sangat singkat untuk dapat mencapai ketuntasan minimal hasil belajar. Dalam alokasi waktu per semester, guru hanya mampu menuntaskan satu substansi masalah. Itu pun hanya satu bidang seni yang dapat diajarkan jika mengacu pada kurikulum sesuai dengan standar isi yang ditetapkan pemerintah.
Sebenarnya guru tidak perlu merasa repot dan merepotkan diri dengan persoalan tersebut karena guru tidak dituntut untuk mengajarkan semua bidang seni dalam waktu yang bersamaan (semester yang sama). Pun guru hanya memilih salah satu bidang seni sesuai dengan latar belakang pendidikannya untuk diajarkan kepada siswa. Namun, kondisi siswa yang heterogen dengan potensi bawaan lahir yang berbeda-beda tidaklah sesuai dengan harapan guru, sehingga harus berupaya memenuhi keinginan siswa.

Problematika inilah yang kerap membayang-bayangi para guru mata pelajaran Seni Budaya. Bahkan tidak jarang orang tua siswa melancarkan protes jika anaknya dinyatakan tidak melulusi mata pelajaran Seni Budaya, karena anaknya pernah menjuarai lomba lukis atau lomba lagu solo. Betapa tidak, gurunya mengajarkan Seni Tari, padahal siswa yang bersangkutan tidak mampu menari seperti yang diinginkan gurunya. Ada pula siswa yang pernah menjuarai lomba tari atau menjadi sutradara terbaik dalam sebuah festival teater, tapi dinyatakan tidak lulus pada mata pelajaran Seni Budaya karena gurunya mengajarkan Seni Rupa. Tentu saja siswa tersebut tidak mampu memenuhi standar ketuntasan minimal yang telah ditetapkan.

C. Kompeksitas Unsur Pertunjukan Teater

Teater merupakan suatu bentuk seni pertunjukan. Sebagai seni pertunjukan, teater termasuk bidang seni yang sangat kompleks karena memadu bidang seni yang lain maupun keterampilan hidup (life skill) untuk menunjang keberhasilan dalam pertunjukan. Hal itulah yang menjadi unsur-unsur dalam membangun sebuah pertunjukan teater.
Pertunjukan teater akan terasa hambar jika tidak didukung dengan unsur-unsur pertunjukan, seperti seni musik sebagai ilustrasi, seni rupa sebagai penataan panggung/properti, seni tari untuk koreografi pada adegan-adegan tertentu, tata rias, busana, maupun cahaya. Semua unsur-unsur tersebut sangat membantu dalam membangun karakter pelaku dan suasana cerita dalam pertunjukan. Kehadiran unsur-unsur itu pun akan menambah nilai estetis sebuah karya seni teater. Berikut akan diuraikan beberapa unsur dalam pertunjukan teater.

1. Ide Cerita/Skenario

Untuk dapat mementaskan teater, diperlukan skenario atau ide cerita yang menjadi materi pertunjukan. Dalam alur cerita tersebut, disuguhkan konflik, baik konflik fisik maupun konflik batin yang dialami oleh pelaku dalam cerita. Seorang penulis skenario atau orang yang melahirkan ide cerita haruslah peka terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat beragama, berbangsa, dan bernegara.
Dalam membuat skenario, dibutuhkan keterampilan dalam bidang seni sastra. Seperti kita ketahui bahwa bahan baku sebuah pertunjukan teater adalah naskah drama yang merupakan bagian dari seni sastra. Inilah raga atau fisik teater yang harus mendapat roh agar dapat kelihatan hidup di atas panggung.

2. Sutradara

Sutradara merupakan pemimpin dalam sebuah pertunjukan teater. Sutradara akan menjadi top leader pada semua stage management. Untuk itu, seorang sutradara harus memiliki jiwa kepemimpinan agar semua stage management dapat menerima ide dan keinginan sutradara.

Baik atau buruknya suatu pertunjukan teater sangat bergantung pada kompetensi sutradara. Sutradaralah yang akan meniupkan roh pada naskah yang berbentuk seni sastra menjadi sebuah pertunjukan teater yang menarik. Ide cerita atau skenario terlebih dahulu harus dapat dipahami oleh sutradara, kemudian ide cerita/skenario tersebut diramu sesuai dengan keinginannya.

Dalam menjalankan tugasnya, sutradara bisa dibantu oleh seorang asisten dan pencatat adegan. Sutradara dapat pula didampingi oleh seorang koreografer jika dibutuhkan. Tugas seorang koreografer adalah menyajikan koreo pada adegan-adegan tertentu yang sulit digambarkan dengan adu aksi para pemain di panggung, seperti perkelahian, pembunuhan, atau pemerkosaan. Koreografi yang disajikan harus menarik dan dapat diterima atau dipahami oleh penonton. Di sinilah dibutuhkan kemampuan dalam bidang seni tari.

3.Pemain

Dalam pertunjukan teater, pemain memerankan lakon berdasarkan tokoh cerita dengan karakter tertentu. Setiap tokoh cerita mempunyai peranan dan watak yang berbeda. Seorang pemain dituntut untuk mampu memerankan tokoh cerita. Keahlian pemain dapat menghadirkan sosok tokoh yang diperankan seperti nyata, baik tingkah laku, dialog, maupun jiwanya. Selain bermain secara individu, pemain juga diharuskan dapat bermain secara kelompok. Artinya, di atas panggung seorang pemain tidak bermain sendiri, ada tokoh cerita lain yang harus bekerja sama dalam menghadirkan permainan yang baik. Kekompakan antarpemain sangat menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan.

4. Tata Panggung/Properti

Dalam pertunjukan teater, penggambaran latar tempat harus jelas. Misalnya, adegan menggambarkan suasana di terminal, maka tidak hanya pemain yang mengantar penonton mengetahui atau menafsirkan latar tempat dalam cerita, tetapi yang sangat mendukung adalah properti atau penataan panggung. Tanpa dimunculkan dalam dialog pemain, penonton pun dapat mengetahui latarnya. Di sinilah kemampuan stage management dalam bidang seni rupa sangat dibutuhkan

5. Tata Musik

Musik berfungsi untuk membangun suasana tertentu, seperti tuntutan peristiwa dalam pertunjukan teater. Musik yang kurang baik dan kurang tepat dapat merusak suasana pertunjukan. Musik dalam pertunjukan teater bukan hanya bunyi yang dihasilkan oleh alat musik, tetapi dapat juga berupa bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia atau rekaman bunyi yang dapat menggambarkan suatu peristiwa.
Untuk menggambarkan suasana pagi, penata musik dapat menggunakan rekaman suara kicau burung. Untuk menggambarkan suasana pantai, penata musik dapat menggunakan rekaman suara ombak dan burung camar. Dalam pada itu, musik berfungsi menggambarkan latar waktu dan tempat dalam cerita.

6. Tata Rias/Busana

Tata rias adalah riasan wajah pemain maupun anggota badan yang lain dengan tujuan untuk membantu pemain menghadirkan karakter tokoh cerita. Seorang pemain yang masih relatif muda, dapat tampil layaknya orang tua karena dukungan tata rias. Tentu saja tata rias ini erat kaitannya dengan tata busana. Busana pentas merupakan pakaian penunjang karakter pemain dalam menghadirkan sosok tokoh cerita. Selain itu, sinergi antara tata rias dan tata busana juga dapat menggambarkan sebuah kurun waktu peristiwa dan artistik pertunjukan. Di sinilah dibutuhkan keterampilan stage management dalam bidang fashion (make up dan costume design) yang sesuai dengan latar cerita.

7. Tata Cahaya

Selain tata musik dan tata rias/busana, dibutuhkan juga tata cahaya untuk menggambarkan latar waktu dan suasana. Penata cahaya dapat menggambarkan waktu senja dengan menggunakan perpaduan cahaya berwarna merah dan kuning. Penata cahaya pun dapat menggambarkan suasana mencekam dengan memainkan beberapa warna cahaya secara bergantian. Untuk menghadirkan penggambaran latar waktu dan suasana yang diinginkan sesuai dengan tuntutan cerita, sebaiknya tidak ada cahaya yang terlihat dalam ruang
pertunjukan selain cahaya lampu yang mengarah ke arena pertunjukan (panggung).
Penataan cahaya tidak lepas dari kemampuan seni rupa dan keterampilan dalam bidang elektro yang harus dimiliki stage management. Penata cahaya harus mengetahui konsep penggabungan warna untuk menciptakan warna-warna tertentu. Hal ini akan sangat membatu dalam mewujudkan nuansa dan membangun suasana berdasarkan alur cerita.

D. Teater Mensinergikan Berbagai Bidang Seni

Dari pemaparan tentang kompleksitas unsur pertunjukan teater, dapat disimpulkan bahwa seni teater merupakan induk dari semua bidang seni. Sebagai induk, teater dapat mensinergikan semua bidang seni, seperti seni musik, seni tari, dan seni rupa. Selain itu, unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah seni sastra, kepemimpinan, bahkan kemampuan dalam bidang elektro. Kompleksitas seni teater inilah yang diharapkan dapat mensinergikan berbagai bidang keilmuan untuk mengasah dan mengembangkan kreativitas siswa, baik dalam bidang seni maupun dalam bidang yang lain, seperti kesusastraan dan kepemimpinan, dan elektro.

Khusus dalam pembelajaran Seni Budaya, guru dapat memilih seni teater sebagai jawaban atas problematika pembelajaran Seni Budaya yang dialami selama ini. Guru tidak perlu lagi menekankan pada siswa untuk dapat menguasai bidang keilmuan yang diinginkan guru, melainkan memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih peranan yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Setiap manusia lahir dengan potensi bawaan yang dimiliki. Inilah yang harus dijajaki dalam diri siswa. Guru hanya tampil sebagai fasilitator untuk menemukan potensi tersebut. Siswa yang memiliki keterampilan menulis diberi kesempatan menulis skenario. Siswa yang memiliki kemampuan memimpin dan mengarahkan diberi kesempatan menjadi sutradara. Siswa yang memiliki kemampuan berakting diberi kesempatan menjadi pemain. Siswa yang memiliki kemampuan menari diberi peran dalam suatu adegan tertentu yang memerlukan koreo. Siswa yang memiliki kemampuan seni rupa diberi tugas sebagai penata panggung/properti. Siswa yang memiliki kemampuan seni musik diberi tugas sebagai penata musik. Siswa yang memiliki keterampilan dalam bidang fashion diberi tugas sebagai penata rias/busana. Siswa yang memiliki kemampuan dalam bidang seni rupa dan elektro diberi tugas sebagai penata cahaya. Dengan demikian, seluruh kepentingan, baik dari guru maupun siswa, dapat terakomodasi dengan baik.