Senin, 27 September 2010

Skripsi "Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis)

ABSTRAK

Abdullah
. 2010. Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis). Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar (dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri selaku Pembimbing I dan Munirah selaku Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan eksistensi mantra dalam kehidupan masyarakat Bugis Wajo; dan (2) mendeskripsikan karakteristik simbol dalam mantra Bugis dialek Wajo.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini hanya mengungkapkan apa adanya tentang makna simbol dalam mantra Bugis dialek Wajo, yang meliputi mantra cenningrara (pengasihan), parémboloq (kekebalan), paremmaq (hipnotis), pappasémpo dalléq (peruntungan), pabbura (pengobatan), dengan menggunakan pendekatan semiotik. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah simbol yang dijadikan dasar kajian yang berbentuk kata atau frase kata dalam mantra yang mengandung makna arbriter. Data berupa mantra yang dimaksud bersumber dari informan yang berdomisili di Kabupaten Wajo dan dianggap banyak mengetahui tentang mantra dengan memperhatikan latar belakang kehidupan informan tersebut disesuaikan dengan jenis mantra yang diberikan. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara yang disesuaikan dengan tujuan dan fokus masalah, kemudian diurut berdasarkan kekuatan dan kesesuaian isinya dengan tujuan pengkajian. Isinya dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian sistematis, padu, dan utuh. Analisis data dilakukan secara berulang-ulang dan bolak-balik (spiral) menurut keperluan, dengan fokus pada simbol yang terdapat dalam mantra Bugis dialek Wajo. Dengan demikian, proses analisis data dilakukan melalui tahapan (1) mereduksi data, (2) penyajian data dan (3) penyimpulan dan verivikasi.

Penelitian ini menyimpulkan hasil bahwa mantra Bugis telah beredar sejak lama dalam lingkungan masyarakat Bugis Wajo. Masyarakat menganggap mantra sebagai doa. Namun terlepas dari semua itu, jika ditinjau dari unsur yang membentuknya, mantra lebih banyak menggunakan simbol dan permainan bunyi (sound setrum) yang mengindikasikan eksistensi mantra sebagai karya sastra bergenre puisi. Simbol yang digunakan berupa nama benda, tindakan atau perlakuan, nama nabi, huruf Arab, dan nama Tuhan.

Cerpen "Hidup di Persimpangan Jalan"

Karya: Abdullah

“Etta, pulangmi Nurdin!” Seru adikku ketika melihatku dari arah kejauhan. Kulihat kedua ettaku bergegas keluar dari dalam rumah hendak menyambutku. Ada keceriaan dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Aku juga melihat titik-titik air yang keluar dari mata air air mata etta makkunraiku, tapi aku yakin itu adalah keharuan seorang ibu. Adikku membantuku mengangkat barang-barang yang aku bawa. Aku digiring masuk ke dalam rumah. Semua peristiwa tadi sore masih jelas di ingatanku.

Kini aku duduk menyendiri di beranda depan rumahku. Semilir angin malam menyapa tubuhku dan merasuk hingga ke sumsum tulangku yang paling dalam. Kutarik sarung yang menutupi kakiku hingga menyelimuti tubuhku, walau aku harus melipat kakiku. Kini tinggal kepalaku yang kelihatan menyaksikan suasana malam pedesaan yang sepi dan sunyi. Daerah yang jauh dari jangkauan gemerlap cahaya lampu jalan dan deru mesin yang terasa bising di pendengaran. Yang ada hanya cahaya rembulan dari sela-sela daun pohon rindang di depan rumahku dan suara binatang malam yang seakan mengalun. Entah lagu apa yang didendangkannya?

Ini malam pertama aku di desa setelah sekian lama meniti garis antartitik mencari kesejatian diri di kota. Tak banyak yang aku bawa pulang. Hanya sedikit bingkisan untuk kedua ettaku dan adikku satu-satunya. Tampaknya mereka tidak mengharapkan apa-apa dariku. Aku sudah pulang, itu saja sudah cukup bagi mereka. Tapi aku bisa berbangga karena telah banyak pengalaman yang aku dapatkan selama penitianku.
Lika-liku kehidupan yang rumit tak lepas dari pengamatanku. Masih jelas di benakku orang-orang membawa alat musik sambil memainkannya, mereka berkeliling kota sambil menjajakan suara yang tidak begitu merdu di setiap sudut kota. Ada juga sekelompok bocah, lato, dan kajau yang membawa kaleng bekas di depan traffic light.

Sementara itu, gedung-gedung mewah berbaris seakan menggambarkan kesejahteraan penduduk kota. Tapi siapa yang menyangka kalau di balik kemewahan itu, pemandangan yang kita temukan justru jauh lebih memprihatinkan dari sekelompok bocah, lato, kajau, dan, pengamen di jalanan. Dengan dalih kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja. Banyak lelaki yang bekerja sebagai juru masak, dan tak sedikit lelaki yang bekerja sebagai penata rias. Bukan itu yang memilukan hati, melainkan tingkah laku mereka yang menyerupai perempuan.

Kala malam tiba, gelap menyelimuti cakrawala, mereka keluar sekedar memenuhi kebutuhan lainnya. Rupanya mereka belum puas dengan apa yang mereka dapatkan dari bekerja seharian. Mereka bak artis papan atas bersaing mencari fans. Di sudut-sudut kota yang jauh dari gemerlap lampu jalan yang menyibak kegelapan malam, mereka bercengkrama dengan lelaki hidung belang yang kebanyakan telah beristri dan bahkan sudah punya anak. Sudah berapa banyak hak perempuan yang mereka ambil?

Tak herah kalau kaum perempuan sudah mulai turun ke jalan mengibarkan bendera emansipasi. Mereka ingin menuntut hak. Mereka berarak bak pawai berkeliling kota masih dengan bendera emansipasi. Tapi emansipasi dalam bentuk apa, jika tak jarang mereka ditemukan berduaan dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam kamar hotel yang mewah?

***

Kebutuhan demi kebutuhan yang mendesak menjadi alasan para waria itu bekerja siang dan malam. Siang hari mereka lalui dengan bekerja di dalam gedung mewah menggunakan keterampilan dan keahlian mereka. Malam hari mereka lewati dengan melenggok dan melenggang di depan lelaki hidung belang bak peragawati menawarkan kenikmatan. Tapi tidak sedikit juga di antara waria itu yang berdalih bahwa mereka memang dilahirkan dengan perasaan dan jiwa seperti kaum perempuan pada umumnya. Kalau memang itu benar, mengapa mereka tidak menjadi bissu saja?

Tak luput juga dari perhatianku, aparat keamanan yang tiap malam mengadakan razia di setiap tempat hiburan malam dan sudut-sudut kota. Mereka berkejar-kejaran dengan para pekerja seks komersial. Baik itu perempuan, maupun lelaki yang menyerupai perempuan. Tapi aku heran. Mengapa mereka bisa saja lolos dari razia itu? Bahkan keesokan harinya, ketika sang surya kembali menyinari cakrawala, burung-burung berkicau menyamput pagi yang indah, mereka kembali berkemas hendak bekerja. Tentu saja dengan dandanan mereka yang seperti Madona ataukah Britney Spears, seakan semalam mereka tak terjaring razia. Ataukah aparat keamanan juga sudah dapat bagian?

Pertanyaan demi pertanyaan terasa membengkak di benakku. Jawaban yang aku dapat harus kembali kepada kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin meningkat dan mendesak kita untuk berlomba mencapai puncaknya. Seperti yang dialami oleh salah seorang temanku semasa SD dulu, Firman, yang kini telah mengganti namannya menjadi Firma.

Masih segar di ingatanku, bagaimana dulu Firman adalah cerminan lelaki yang kuat dan kekar. Bahkan beberapa remaja perempuan di desaku pada saat itu memujanya. Mereka tertarik pada Firman. Beberapa di antara mereka terkadang berkata, “Man, kalau besarki’ nanti, maukiga jadi pacarku?” Tentu saja Firman merasa malu. Sementara aku cemburu setiap gadis-gadis di desaku menghampiri kami yang sedang mallogo di halaman rumah.

Anganku terus melayang membuka lembaran-lembaran diary kehidupan yang telah aku gores dengan tinta perjalananku. Aku tak mampu membuang memoriku tentang Firman. Aku teringat setiap kali kami mallogo di halaman rumah pada sore hari sepulang dari mengaji. Di saat-saat seperti itulah, biasanya Jamila, waria yang ada di desaku lewat. Spontan saja, Firman pergi sambil berkata, “Cilaka! Tidak dapatki’ lagi berkah empat puluh hari.” Seperti itulah anggapan orang-orang di desaku setiap kali bertemu dengan waria.

Kini Firman telah banyak berubah. Terakhir aku bertemu dengannya di sebuah salon saat aku hendak merapikan rambutku. Aku hampir tak mengenalnya seandainya bukan dia yang lebih dulu menyapaku. Saat itu, aku berusaha menyadarkannya. Tapi seperti yang lainnya, dia ingin hidup lebih mewah. Berulang kali aku membujuknya untuk bekerja sebagaimana layaknya seorang lelaki, tapi jawaban yang aku dapatkan tetap sama.

“Firman, kenapaki’ berbuat seperti ini?” Tanyaku pada Firman.
“Ssstt… Janganki’ keras-keras. Nanti nadengar orang. Bukanmi Firman namaku, tapi Firma.” Dengan gayanya yang khas waria dia menarikku ke tempat duduk. Dia memandang sekeliling ruangan. Rupanya dia tidak ingin diketahui identitasnya oleh teman-teman dan para pelanggannya. Tentu saja aku geli melihat tingkah lakunya. Tapi aku menyembunyikan gelagatku. Aku tidak ingin dia tersinggung.
“Terpaksaka’, Din. Sudah lamaka’ hidup di kota, tapi kehidupanku tetap saja seperti di desa. Mauka’ hidup mewah. Lagipula kerja begini lebih mudah. ‘Ndak perlu mengeluarkan tenaga yang banyak.”
“Apa ‘ndak muingat kalau dulu sangat kita benci bencong. Walau hidup bencong kelihatan mewah, tapi tetap sajaki’ anggap semua itu ‘ndak ada berkahnya. Bahkan seringki’ menghindar kalau bertemuki’ dengan bencong.”
“Itu dulu, Din, sebelumki’ melaluinya. Sekarang baruka’ rasakan, betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk tetap bertahan hidup. Nah, kalau adami jalan keluarnya, Kenapaki’ tidak lewati saja?”
“Lantas, sampai kapanki’ terus begini?”
Tanyaku lirih.
“’Ndak kutahumi, Din. Yang jelasnya, sekarang sudah bahagiama’ dengan pilihan hidupku.”

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Firman. Rupanya tekadnya betul-betul sudah bulat. Aku tak mampu menyadarkannya.

“Bagaimana dengan pekerjaanta’, Din?”
“Masih seperti duluka’. Rasanya ‘ndak ada bedanya tinggalka’ di desa sama di kota.”
Sebenarnya aku malu menuturkan hal itu pada Firman, tapi aku rasa bahwa aku masih lebih berharga daripada dia.
“Tidak berminatki’ seperti aku? Adami rumah sendiri, usaha sendiri, dan ‘ndak lagi bergantung pada orang lain.”
“Apa? ‘Ndak, Firman! Sedikitpun tidak tergodaka’ oleh kemewahanta’. Masih lebih jauh berhargaka’ daripada bencong yang demi kemewahan, rela menistakan diri. Ini siri, Firman.”
Aku meninggalkan Firman dengan segudang impiannya. Aku hanya bisa berharap, semoga Firman bisa menyadari apa yang telah ia perbuat.

Firman, sahabat kecilku, yang dulu sangat antipati terhadap waria, kini justru telah menjelma menjadi waria. Belum lekang di benakku tentang Firman yang selalu menghindar pada Jamila. Tiba-tiba aku teringat Jamila. Dimana dia sekarang? Aku beranjak dari tempat dudukku mencoba menyelidik ke luar, ke arah rumah mewah yang ada di depan rumahku. Di balik jendela, aku bisa melihat seorang lelaki tua sedang berjalan bungkuk. Benarkah itu Jamal yang dulu dikenal sebagai Jamila?

Aku perhatikan dari jauh. Ternyata benar, dia adalah Jamila. Kini dia sudah tua dan hidup sendiri di rumah mewah itu. Dia tidak punya keturunan yang bisa merawatnya. “Kasihan dia.” Bisikku lirih. Aku terus saja memperhatikan Jamila hingga timbul lagi pertanyaan dalam benakku. “Kalau waria tidak punya keturunan, bagaimana mereka bisa berkembang?”

***

Malam semakin larut. Udara terasa semakin dingin mengibarkan sarung yang menyelimuti tubuhku. Aku tak mampu lagi menahan dinginnya angin malam. Tiba-tiba suara ettaku terdengar memanggil. Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di tengah-tengah keluargaku. Tampaknya ada hal yang sangat penting yang ingin mereka bicarakan.

”Mauka’ bicara denganta’, Aco.” Terdengar suara etta buraneku memulai pembicaraan.
“Kenapaki’, Etta?”
“Ini menyangkut pendidikan adekmu, Ecce.”
Ettaku mengentikan sejenak pembicaraannya. Setelah menelan ludah yang menghalangi tenggorokannya, kemudian dia melanjutkannya kembali. “Tamatmi SMA adekmu. Maui kuliah. Sementara tidak bisaka’ lagi biayai kuliahnya.”

Aku hanya mampu terdiam dan tertunduk lesu ketika mendengar kata-kata ettaku. Aku sudah mengerti maksudnya. Tapi bagaimana aku bisa mewujudkan semua keinginan ettaku kalau gaji yang aku dapatkan selama ini sebagai seorang pegawai kecil di instansi hanya cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Aku juga tidak ingin mengecewakan kedua ettaku yang telah membanting tulang demi mewujudkan cita-citaku.

Aku menyesali diriku yang hanya pegawai kecil. Pikiranku semakin tak tenang, tapi aku berusaha bersikap tenang di hadapan kedua ettaku. Aku menyanggupi permintaan mereka. Aku tidak ingin dikatakan anak yang tidak tahu membalas budi kepada orang tuanya.
“Oh, Tuhan. Aku hanyalah seorang pegawai kecil. Haruskah aku berjuang keras untuk memenuhi kebutuhanku dan adikku, seperti yang dilakukan sahabat kecilku, Firman? Lalu, ettaku akan memanggilku ‘Ecce’.”


***

Lagosi, 17 Pebruari 2009

Catatan:

Aco : Sapaan orang tua terhadap anak laki-lakinya.
Bissu : Komunitas adat orang Bugis yang terdiri dari kaum waria yang merupakan orang kepercayaan raja.
Ecce : Sapaan orang tua terhadap anak perempuannya.
Etta : Sapaan orang Bugis untuk orang tua.
Etta burane : Ayah
Etta makkunrai : Ibu
Kajau : Perempuan yang sudah tua renta.
Lato : Laki-laki yang sudah tua renta.
Mallogo : Sejenis permainan rakyat orang Bugis.
Siri : Malu/memalukan. Dalam budaya Bugis, pantang orang-orang menyandang perasaan siri dan melakukan perbuatan yang membuahkan siri.

Sastra




Sebuah karya yang berkualitas tidak hanya mengedepankan unsur hiburan. Karya merupakan media untuk menyampaikan amanat. Setidaknya, dalam sebuah karya yang berkualitas, terdapat dua dimensi amanat, yakni menggugat dan menggugah. Hal inilah yang dilakukan oleh siswa SMA Athirah Makassar yang tergabung dalam Teater Baruga. Melalui teater sebagai sebuah karya seni, siswa SMA Athirah Makassar menggugat KPK yang dikenal sebagai lembaga anti rasuah. Sepeti apa gugatan yang disampaikan?


Baca selengkapnya....


CitraLelaki Bugis-Makassar dalam“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” 


Akhir tahun 2013, demam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) sangat terasa di semua lapisan masyarakat lintas generasi. Perbincangan tentang TKVDW tidak hanya dalam forum diskusi formal dan non formal, tetapi juga marak menjadi bahan diskusi di media sosial, seperti facebook dan twitter. Semua ini tidak terlepas dari rencana pemutaran perdana film TKVDW yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dengan judul yang sama. Film garapan Sunil Soraya tersebut diputar perdana pada tanggal 19 Desember 2013 mendatang.

Baca selengkapnya....


Tragedi Ruyati Dua Ribu Sebelas
(Puisi ini berhasil menjuarai Lomba Puisi Kemanusiaan dalam rangka Kemah Bakti dan Lomba VII PMR Wira se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di PKP KNPI Sudiang Makassar dan dibacakan oleh Nurfadilah, kontingen PMR SMAN 1 Sengkang)

Baca selengkapnya....


Nilai Sosial dalam Novel "Azab dan Sengsara" Karya Merari Siregar

Kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia ini adalah kehidupan bermasyarakat karena manusia merupakan makhluk sosial. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa orang lain.

Hubungan manusia dengan masyarakat harus dilihat sebagai hubungan seseorang dengan masyarakat secara terpadu bukan dengan manusia secara perseorangan. Hubungan itu merupakan realisasi dari dorongan naluri “bergaul” bagi manusia yang keberadaannya di dalam diri manusia sejak lahir manusia, tanpa dipelajari. Dalam hubungan itu, manusia akan melibatkan dirinya dalam masyarakat secara penuh tanpa mempersoalkan keuntungan dan kerugian yang diperolehnya dalam masyarakat itu.

Baca selengkapnya ....


Matrilinear dalam Novel "Layar Terkembang" Karya HAMKA

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah karya tersohor yang ditulis oleh HAMKA. Novel yang berisi kisah cinta antara seorang pemuda Zainuddin dengan seorang gadis bernama Hayati. Cinta mereka tidak mendapat restu keluarga Hayati. Pinangan Zainudin ditolak. Penolakan tersebut berawal dari persoalan adat istiadat yang telah turun-temurun dijalankan oleh masyarakat suku Minangkabau yang menjadi latar dalam cerita tersebut, yakni budaya matrilinear.

Baca selengkapnya...


Emansipasi Wanita dalam Novel "Layar Terkembang" Karya Sutan Takdir Alisyahbana
Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur, juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf, Maria, dan Tuti.

Baca selengkapnya...


Skripsi "Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Wajo)"

Abdullah. 2010. Makna Simbol dalam Mantra Bugis Dialek Wajo (Telaah Semiotik Sastra Klasik Lisan Bugis). Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar (dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri selaku Pembimbing I dan Munirah, selaku Pembimbing II

Baca selengkapnya...


Cerpen "Hidup di Persimpangan Jalan"
“Etta, pulangmi Nurdin!” Seru adikku ketika melihatku dari arah kejauhan. Kulihat kedua ettaku bergegas keluar dari dalam rumah hendak menyambutku. Ada keceriaan dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Aku juga melihat titik-titik air yang keluar dari mata air air mata etta makkunraiku, tapi aku yakin itu adalah keharuan seorang ibu. Adikku membantuku mengangkat barang-barang yang aku bawa. Aku digiring masuk ke dalam rumah. Semua peristiwa tadi sore masih jelas di ingatanku.

Baca selengkapnya...


Cerita Rakyat "LA WELLE"

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.

Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya. Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain.

Baca selengkapnya...

Cerita Rakyat "LA WELLE"

Disadur oleh: ABDULLAH

Dikisahkan konon kabarnya, di sebuah desa bernama Wajo-wajo hiduplah seorang anak yatim yang masih kecil. Anak itu bernama Lawelle. Ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Lamannuke. Sejak saat itu, Lawelle tinggal berdua dengan ibunya. Warga sekitar pun sangat sayang pada Lawelle karena dia termasuk anak yang rajin dan tidak nakal.
Suatu ketika, Lawelle sedang bermain-main dan tiba-tiba menyaksikan sepasang burung memberi makan pada anak-anaknya. Lawelle pun takjub menyaksikan peristiwa yang menurut dia masih asing karena belum pernah dilihat sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya bertanya pada ibunya tentang upaya kedua ekor burung yang memberi makan pada burung-burung yang lain.

Ibunya menjelaskan bahwa kedua burung itu tidak lain ayah dan ibu burung-burung yang lain. Lawelle merasa heran karena selama ini dia tidak pernah merasa mempunyai ayah. Dia pun menanyakan tentang ayahnya. Ibunya menceritakan peristiwa yang dialami oleh ayahnya sehingga akhirnya dibunuh oleh Lamannuke.

Dalam rasa penasaran itulah, Lawelle menanyakan peninggalan ayahnya. Ibunya memberitahukan bahwa ayah Lawelle meninggalkan sebuah benda pusaka yang rencananya akan dibuat menjadi badik namun belum selesai. Benda itu disimpannya baik-baik. Lawelle pun mengambil benda tersebut yang sudah menyerupai sebuah badik namun belum tajam karena belum selesai betul dibuat oleh mendiang ayahnya.

Agar badiknya itu betul-betul jadi, Lawelle menanam jeruk pada lahan perkebunan yang sangat luas. Jeruk itu akan dijadikan sebagai bahan untuk mempertajam badiknya. Alhasil, jeruk itu tumbuh besar dan berbuah banyak. Lawelle menghabiskan semua hasil panen jeruk itu hanya untuk mempertajam badiknya hingga badik itu terlalu tipis seperti daun padi sehingga orang bugis menamakannya tappi maddaung ase, artinya badik yang tipis seperti daun padi. Berita tentang adanya tappi maddaung ase yang dimiliki Lawelle tersebar ke seluruh pelosok Wajo hingga tidak ada orang yang berani melawannya karena bekas luka yang ditorehkan akibat sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar luka apapun sehingga orang bugis menamakannya tennarapi pattawe.

Pada suatu hari, Lawelle yang sudah beranjak remaja memohon izin kepada ibunya untuk pergi mencari Lamannuke hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Ibunya pun mengizinkan karena sudah mengandalkan keberanian anaknya. Setiap perkampungan yang dilaluinya, Lawelle selalu bertanya tentang keberadaan Lamannuke. Semua orang yang ditanya pun terkejut melihat seorang remaja yang mencari Lamannuke hendak mengajaknya bertarung, sementara Lamannuke sangat terkenal kehebatannya karena dia memiliki ilmu pattawe (penawar luka). Namun, setelah tahu bahwa remaja yang mencari Lamannuke itu tak lain Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe, mereka pun maklum atas keberanian anak itu.

Setelah bertanya dan terus bertanya, akhirnya Lawelle berhasil bertemu dengan Lamannuke. Lawelle menantang Lamannuke berkelahi karena hendak membalas dendam atas kematian ayahnya. Celakanya, Lamannuke terlalu licik. Dia mencari akal agar tidak jadi bertarung dengan Lawelle. Rupanya Lamannuke pun telah mendengar tentang kehebatan Lawelle yang memiliki tappi maddaung ase tennarapi pattawe. Lamannuke memang punya ilmu penawar luka, tapi apalah artinya jika berhadapan dengan Lamannuke yang memiliki badik yang bekas sayatannya tak dapat disembuhkan dengan penawar apapun.

Alhasil, Lamannuke menemukan cara agar dapat menyingkirkan Lawelle. Dia menyangkal kalau dirinya yang telah membunuh ayah Lawelle. Lamannuke justru memfitnah Wa Becce yang dikenal dengan sebutan Bolong Mangngongngona Tana Kute. Orang tersebut adalah seorang ratu yang memerintah di sebuah negeri yang sangat kaya. Ratu tersebut terkenal sakti dan pemberani. Apabila ada kapal yang merapat di pelabuhan negeri tersebut, Wa Becce selalu berkokok seperti ayam dan apabila ada yang menjawabnya, maka mereka akan bertarung. Taruhannya pun tidak tanggung-tanggung. Apabila Wa Becce kalah, maka ia akan menyerahkan tampu kekuasaan di negerinya. Tetapi apabila lawannya kalah, maka ia akan mengambil seluruh isi kapal. Tampaknya taruhan itu memang menguntungkan bagi pemilik kapal karena tidak seimbang nilainya, tetapi tetap saja tidak ada yang berani melawan Wa Becce.

Atas petunjuk Lamannuke, Lawelle pun berangkat mengarungi lautan. Agar pelayarannya itu berjalan lancar, dia bekerja sebagai awak pada salah satu kapal tujuan Tana Kute. Tentu saja tidak ada orang yang tahu maksud Lawelle, karena kalau mereka tahu, mereka tidak akan mengikutkan Lawelle. Semua orang, terutama pemilik kapal, sangat takut pada Wa Becce. Bahkan, tidak ada kapal yang mau membawa ayam karena takut ayam tersebut akan menyahut jika Wa Becce berkokok seperti ayam.

Setelah berlayar cukup lama, akhirnya kapal yang ditumpangi Lawelle pun tiba di Tana Kute. Lawelle tidak sabar lagi menunggu adanya suara kokok ayam dari dermaga. Begitu mendengar suara kokok ayam, tanpa ragu-ragu, Lawelle pun menyahut. Tentu saja tindakan Lawelle itu membuat seisi kapal jadi terkejut dan sangat ketakutan. Pertarungan hebat pun terjadi antara Lawelle dan Wa Becce. Mereka beradu kekuatan dan kesaktian, hingga akhirnya badik Lawelle mengenai kulit Wa Becce. Melihat hal itu, Wa Becce tidak merasa khawatir sedikit pun karena dia memiliki penawar luka.
Namun malang nasib Wa Becce. Rupanya dia tidak tahu kalau bekas sayatan badik Lawelle tidak dapat diobati dengan penawar apapun. Wa Becce gugur dalam pertarungan itu. Wa Becce yang selama ini selalu mengambil milik orang lain, akhirnya harus merelakan kerajaannya untuk dia serahkan kepada Lawelle. Tampu kekuasaan pun beralih pada Lawelle.

Konon, menurut si empunya cerita dan keyakinan masyarakat Wajo, Tana Kute yang dimaksud adalah Kerajaan Kutai yang berada di Kalimantan Timur. Lawelle tinggal memerintah di kerajaan tersebut. Berita tentang kemenangan Lawelle melawan Wa Becce pun tersebar hingga ke Wajo. Banyak orang-orang Wajo yang menyusul dan menetap di negeri tersebut dan beranak-cucu hingga sekarang.

Menanti Aksi Tokoh Perdamaian Dunia

Abdullah

Pemilu presiden telah berlalu dan presiden terpilih pun sudah menjabat selama hampir satu tahun. Tentu saja presiden terpilih adalah pilihan rakyat secara murni karena dipilih secara langsung, bukan melalui perwakilan di parlemen. Namun sepertinya rakyat tidak puas dengan pilihannya. Ini dibuktikan dengan maraknya aksi unjuk rasa, bahkan tidak jarang menuntut presiden mundur dari jabatannya.

Sejak dilantinya presiden dan wakilnya, sudah banyak digelar aksi unjuk rasa, mulai dari kasus Bank Century, kenaikan tarif dasar listrik, sampai hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus terakhir inilah yang menyebabkan popularitas presiden turun menurut beberapa lembaga survey yang telah merilis temuannya akhir-akhir ini. Berbagai komentar rakyat bermunculan tentang presiden yang dianggap tidak tegas dalam menyikapi persoalan dengan Malaysia. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menuding presiden penakut karena tidak berani menghadapi negara-negara lain.

Mendengar beberapa komentar dari rakyat, tentunya kita heran dan tercengang karena ini berbeda dengan sosok presiden yang kita kenal sebelumnya. Sang presiden sebagai ikon negara telah tercatat sebagai salah satu orang yang berpengaruh di dunia menurut salah satu majalah internasional. Lebih mengherankan lagi rakyat yang menuntut presiden mundur karena dianggap penakut, padahal kebanyakan mereka memilih presiden dulu karena dianggap berwibawa. Jika presiden kita berwibawa, tentunya negara lain tidak akan merampas kedaulatan negara kita.

Tak ada yang patut dipersalahkan dalam kasus ini terkait sikap presiden yang memilih berdiplomasi daripada menempuh jalur perang. Sikap presiden tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Masih banyak saudara kita bekerja di sana sebagai TKI. Jika jalur perang dipilih, tentunya banyak korban dari pihak kita, termasuk dalam hal pekerjaan. Rakyat pun tidak mau kalah karena selalu bercermin pada sikap presiden yang menyerukan mengganyak Malaysia, seperti yang sering ditayangkan di layar kaca.

Sebenarnya, pangkal persoalan yang kita hadapi sangat jelas. Negara kita butuh tokoh yang mampu meredam dan mendamaikan kedua belah pihak. Namun sampai detik ini, baik rakyat maupun pemerintah, tampaknya belum ada yang menemukan sosok tokoh perdamaian. Padahal, negara lain pernah menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa bidang perdamaian pada salah seorang mantan wakil presiden kita. Tentu saja gelar itu bukan sekadar pemberian, melainkan penghargaan pada orang yang dianggap memiliki kapasitas dalam hal perdamaian dunia yang cukup disegani.

Secara historis, mantan wakil presiden kita memiliki hubungan kekerabatan dengan Perdana Menteri Malaysia yang menjadi ikon negara tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa keduanya adalah perantau yang mengadu nasib di negeri orang. Keduanya diikat dengan tali persaudaraan suku Bugis-Makassar. Berikut kutipan penggalan puisi yang ditulis oleh Udhin Palisuri, seorang sastrawan dan budayawan Sulawesi Selatan.

Yang amat terhormat
Datuk Najib
Timbalan jadi perdana menteri
Leluhur dari Gowa
Istri orang Padang

Yusuf Kalla
Wakil presiden
Leluhur dari Bugis
Istri orang Padang

(Dibacakan pada Pembukaan Festival Budaya Serumpun Melayu tahun 2009 di Makassar)


Pertalian ini tentunya dapat dijadikan sebagai suatu referensi untuk mempertemukan keduanya dalam satu meja membicarakan persoalan kedua negara yang akhir-akhir ini bersitegang. Dalam raga keduanya, tentu masih mengalir darah Bugis-Makassar dengan keteguhan hatinya memegang prinsip “Sebenci-bencinya pada saudara sekampung, jika bertemu di perantauan, akan berdamai jua.” Kini kita tinggal menanti aksi tokoh perdamaian dunia yang telah mewakafkan hidupnya untuk kemanusiaan.