Selasa, 02 November 2010

Matrilinear dalam Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" Karya HAMKA


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah karya tersohor yang ditulis oleh HAMKA. Novel yang berisi kisah cinta antara seorang pemuda Zainuddin dengan seorang gadis bernama Hayati. Cinta mereka tidak mendapat restu keluarga Hayati. Pinangan Zainudin ditolak. Penolakan tersebut berawal dari persoalan adat istiadat yang telah turun-temurun dijalankan oleh masyarakat suku Minangkabau yang menjadi latar dalam cerita tersebut, yakni budaya matrilinear.

HAMKA menulis buku ini ketika berusia 31 tahun. Pada usia yang relatif masih muda, sikap kritis masih memenuhi jiwanya. Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” merupakan bentuk pemberontakan jiwa HAMKA pada kungkungan budaya matrilinear yang dianut masyarakat sekitarnya. HAMKA yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang religius menganggap budaya matrilinear tidak tepat. Hal ini bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Beberapa kutipan penggalan novel seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, menggambarkan nilai-nilai budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. Bentuk-bentuk penerapan budaya matrilinear yang dipaparkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” meliputi silsilah keluarga, pengaturan ahli waris, pernikahan, dan hubungan masyarakat.

Dalam silsilah keluarga, seorang anak tidak dianggap sebagai suku Minangkabau jika tidak dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Minangkabau. Bentuk penerapan nilai budaya matrilinear ini digambarkan oleh HAMKA melalui tokoh Zainuddin. Walaupun ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau, tetapi Zainuddin tetap dianggap orang asing karena dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Bugis-Makassar.

Zainuddin yang meninggalkan tanah kelahirannya di Makassar, pergi ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya yang masih hidup. Bukan tidak bertemu, tetapi pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya tidak seperti yang dibayangkan oleh Zainuddin. Zainuddin melihat betapa jauh perbedaan budaya antara Bugis-Makassar dengan Minangkabau.

Berbeda dengan suku lain di Indonesia, suku Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut budaya matrilinear. Dalam budaya matrilinear, seorang anak tidak berhak atas harta ayahnya. Jika ayahnya meninggalkan harta setelah wafat, harta tersebut harus beralih tangan ke saudaranya. Hal ini pulalah yang dialami oleh Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Zainuddin bermaksud tinggal di negeri Padang karena merasa memiliki hak atas harta ayahnya, ternyata harus menerima kenyataan yang berbeda. Zainuddin sama sekali tidak mendapatkan harta tersebut.

Dalam hal pernikahan, suku Minangkabau sangat menghargai kaum perempuan. Untuk memutuskan hal ikhwal pernikahan, perempuan juga dimintai pendapatnya. Hal ini dapat dilihat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Dalam novel ini, kaum laki-laki meminta pendapat kaum perempuan ketika membicarakan rencana pernikahan Hayati dengan Azis.

Tidak hanya seputar urusan keluarga. Nilai-nilai budaya matrilinear diterapkan juga dalam hubungan masyarakat. Orang-orang Minangkabau memandang sebelah mata terhadap suku lain. Suku Minangkabau menerima suku lain bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka sering membatasi hubungan tersebut. Penggambaran ini diungkapkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Zainuddin yang dianggap sebagai orang Bugis-Makassar terkadang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.

Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat melihat gambaran bahwa sebenarnya sang pengarang ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing.

Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan.


Dalam petualangan hidup Zainuddin mencari jati diri, Zainuddin harus meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Makassar, menuju Padang. Selama tinggal di tanah Makassar, Zainuddin merasa belum menemukan jatidiri yang sebenarnya. Orang-orang di sekelilingnya tidak menganggapnya sebagai orang Bugis-Makassar karena Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang berasal dari Padang dan bersuku Minangkabau. Suku Bugis-Makassar menganut garis keturunan patrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ayah. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menganggap Zainuddin sebagai orang Minangkabau.

Kondisi inilah yang menyebabkan Zainuddin meninggalkan Makassar menuju Padang dengan tujuan mencari keluarga ayahnya. Usaha Zainuddin tidak sia-sia karena berhasil menemukan keluarga ayahnya. Namun lagi-lagi Zainuddin harus terbetuk pada persoalan budaya Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ibu. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel di bawah ini.

Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut orang di Minangkabau dinamai “anak pisang”. Maklumlah orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya di tanah kelahiran leluhurnya ternyata tidak memenuhi keinginan Zainuddin untuk menemukan jatidirinya. Dia sama saja dengan orang asing di tanah kelahiran leluhurnya, karena adat dan budaya yang dianut oleh suku Minangkabau yang menyebabkan orang-orang di Padang menganggap Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang Bugis-Makassar.

Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka padanya, suka juga, tapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Perjalanan Zainuddin untuk mencari jatidirinya benar-benar terbentur pada masalah adat dan budaya. Zainuddin dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, Zainuddin ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari suatu suku, namun kenyataan yang dihadapi Zainuddin berbeda. Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Minangkabau dan seorang ibu yang bersuku Bugis-Makassar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan gambaran budaya matrilinear yang diangkat oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Hal lain yang menunjukkan budaya matrilinear dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ketika Zainuddin teringat pada pesan Mak Base sebelum Zainuddin berangkat ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya. Mak Base menyampaikan kepada Zainuddin bahwa suku Minangkabau berbeda dengan suku lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel berikut.

Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bkan pandangan sama rata, hanya da juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabaulain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diiambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang benar nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Kondisi yang dialami oleh Zainuddin tidak hanya menimpa dirinya, melainkan juga keturunannya kelak. Karena budaya matrilinear di negeri Padang, Zainuddin tidak boleh mewariskan gelar kepada keturunannya jika pun Zainuddin dipinjamkan gelar oleh keluarga ayahnya setelah menjalankan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh adat. Persyaratan peminjaman gelar dalam budaya matrilinear digambarkan oleh HAMKA dalam novelnya.

Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula itu kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan dilabuh nan golong nan ramai.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Budaya matrilinear dalam suku Minangkabau menempatkan suku lain sebagai orang asing walaupun masih ada ikatan darah. Hal inilah yang dialami oleh Zainuddin selama tinggal di Padang. Kakek-neneknya tidak dapat menahan Zainuddin untuk tinggal bersamanya.

Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, “Oh ... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.”
Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pendekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari “Bugis” ini.
Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22-23)

Kenyataan pahit harus dialami oleh Zainuddin ketika hubungan percintaannya diketahui oleh keluarga Hayati, kekasih hatinya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Tidak jelas asal-usulnya.

“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.”
Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanyal. Lalu dia berkata, “Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan keturunan?”
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan sembarang orang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 55)

Peringatan yang diterima Zainuddin dari keluarga Hayati mengingatkannya pada rencananya mencari jatidiri. Zainuddin menyadari bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Ketika berada di Makassar, dia disebut-sebut sebagai orang Minangkabau. Namun jika dia berada di Padang, dia disebut-sebut sebagai orang Bugis-Makassar. Zainuddin tidak dipandang sah sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya berdarah Minangkabau karena budaya matrilinear yang dianut di daerah tersebut.

.... Dia teringat dirinya, tak bersuku, rak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 56)

Budaya matrilinear semakin menyudutkan Zainuddin dalam pergaulan dengan masyarakat. Tidak hanya sampai di situ. Zainuddin juga harus mengorbankan perasaan cintanya kepada Hayati. Pihak keluaga Hayati menganggap Zainuddin tidak pantas mendampingi Hayati karena bukan dari golongan mereka. Zainuddin bukanlah orang Minangkabau.

“Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengammbil saja jadi istrinya.”
“Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.”
“Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?”
“Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear telah turun-temurun diwariskan di Minangkabau. Hal inilah yang diungkapkan oleh HAMKA melalui dialog tokoh dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Dialog yang mempersoalkan jatidiri Zainuddin sangat jelas menggambarkan pandangan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau.

“Kan ayahnya orang kita juga!” ujar seorang mamak yang agak muda.
“Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada: Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemanakan kita, ke mana kemanakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear lebih jelas dipaparkan oleh HAMKA melalui dialog antara Mulu, sahabat Zainuddin, dengan Hayati. Muluk mengingatkan kepada Hayati tentang peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Zainuddian terkait dengan hubungannya bersama Hayati yang dipisahkan oleh adat istiadat suku Minangkabau.
“Tak ada ranggas di Tanjung,
cumanak ampaian kain.
Tak ada emas dikandung,
dunsanak jadi ‘rang lain.”

Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya Tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 187)

Rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya HAMKA sangat kompleks dalam menggambarkan budaya matrilinear yang dianut oleh suku Minangkabau. Dalam novel ini diuraikan secara konkret nilai-nilai budaya matrilinear yang memebedakan suku Minangkabau dengan suku-suku lain, utamanya yang ada di Indonesia. Pengarang hanya menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai latar dalam cerita. Sorotan utamanya bukan pada persoalan kapal tersebut, melainkan pada persoalan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dan Hayati harus berpisah arah dan mengambil jalan masing-masing.

Emansipasi Wanita dalam Novel "Layar Terkembang" Karya Sutan Takdir Alisyahbana


Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur, juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf, Maria, dan Tuti.

Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan.

Ada beberapa bentuk emansipasi yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam novelnya, di antaranya aktivitas perempuan dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana mestinya, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang diperjuangkan oleh Tuti sebagai pelopor emansipasi wanita pada masanya.

Dalam hal berorganisasi, eksistensi kaum perempuan cukup diperhitungkan. Kaum perempuan dapat menjabat sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah perkumpulan seperti yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui tokoh Tuti dalam novel “Layar Terkembang”. Bahkan, tokoh Tuti digambarkan sebagai representasi kaum perempuan yang menginginkan kebebasan berdiri sendiri menentukan nasibnya.

Kaum perempuan dalam novel “Layar Terkembang” sangat berpedoman dan bercermin pada kegigihan sosok Tuti. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti selalu mendapat sambutan hangat dari pendengarnya. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti pada forum-forum atau rapat maupun kongres tidak jarang membakar semangat kaum perempuan untuk berjuang menuntut haknya sebagai manusia.

Pada setiap kesempatan menyampaikan pidato, Tuti selalu menyinggung persoalan perempuan. Tuti selalu menggambarkan kondisi perempuan yang hitam dan kelam, bahkan lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, hidup sendiri, melainkan hanya sebagai hamba sahaya. Perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki yang seakan tidak mempunyai hak.


Dalam novel ini juga, tergambar pula pandangan Sutan Takdir Alisyahbana dalam menyikapi hubungan suami-istri dalam keluarga. Hal ini dapat kita lihat dari keteguhan hati dan sikap Tuti yang menginginkan hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni saling menghargai. Tuti tidak ingin menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki.

Dua tokoh utama wanita yang bersaudara dalam novel ini mempunyai perbedaan sifat dan perilaku yang memperkuat kesan perjuangan menuntut emansipasi wanita yang dilakukan oleh Tuti. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai. Tuti adalah seorang wanita modern yang aktif dalam berorganisasi dalam perkumpulan perempuan, bahkan menjabat sebagai ketua. Dia selalu memikirkan nasib kaum perempuan yang menurutnya sangat tertindas. Sedangkan adiknya, Maria, tidak aktif sama sekali selain organisasi di sekolah.

Novel “Layar Terkembang” mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1920-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.

Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel “Layar Terkembang ditulis di era 1920-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya, wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam novel “Layar Terkembang”). Gambaran wanita tidak lagi pesimis yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.

Kehadiran novel ini pada masanya merupakan dorongan bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya, karena adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu kaum perempuan hanya bertugas membina rumah tangga. Akan tetapi, Sutan Takdir Alisyahbana membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada perjalanan karier Tuti.

Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berikut ini akan disajikan beberapa kutipan penggalan novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengindikasikan adanya bentuk emansipasi wanita yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya.

Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tidada pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.

(Layar Terkembang, 2002:8)

Dari kutipan penggalan novel di atas, dapat kita lihat sosok Tuti yang termasuk seorang aktivis organisasi perempuan yang menggambarkan emansipasi wanita. Bahkan Ia mendapat kesempatan untuk membacakan pidato pada sebuah kongres organisasi yang diadakan di Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh perempuan yang lain pada masa itu.

“Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-mana,” ujar Yusuf pula. “Zus masuk Putri Sedar jugakah?”
“Ah tidak,” jawab Maria. “Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan baru.”
“Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita? Keputrian Pemuda Baru, misalnya, baik benar bagi gadis-gadis yang masih sekolah.”
“Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai.”
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak. Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja? Apa-bila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama untuk kepentingan orang banyak.”

(Layar Terkembang, 2002:15)

Dalam kutipan penggalan novel di atas, dihadirkan sosok laki-laki yang mendukung keaktifan perempuan pada organisasi. Dalam percakapannya dengan Maria (adik Tuti), Yusuf berusaha memengaruhi Maria agar mau bergabung dengan perkumpulan pemuda menjadi anggota atau pengurus. Yusuf menganggap bahwa perkumpulan merupakan tempat belajar selain di sekolah.

“Sedikit hari lagi tiba libur…” kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada sambungannya, maka katanya. “Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk ujian lima belas hari lagi.”
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
“Jadi, Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan?”
“Ya,” Maria mengangguk.
“Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika sudah ujian itu nanti?”
“Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru.”
“Menjadi guru? Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita. Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insaf merasa menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya megucapkan selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu…”

(Layar Terkembang, 2002:17)

Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja. Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-anak bangsa yang cerdas dan pintar.

Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu kedengaran pula teriak orang, “Hidup Tuti! Hidup Tuti!” tiada berhenti-henti.

Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memcahkan bunyi tepukan itu sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.

Dalam sepi yang sepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah, “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.


“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.

(Layar Terkembang, 2002:34-40)

Kutipan penggalan novel di atas menggambarkan tekad Tuti yang merupakan representasi semangat perempuan yang ingin menuntut emansipasi. Kaum perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam pergaulan di masyarakat. Dalam pidatonya, Tuti menguraikan kondisi perempuan yang tertindas dan selalu berada di bawah perintah kaum laki-laki. Perempuan seakan tidak boleh bersuara dan berkehendak. Namun, Tuti berusaha mengajak kaum perempuan untuk bangkit dan mengejar hak-haknya sebagai manusia yang tiada berbeda dengan kaum laki-laki. Bahkan Tuti beranggapan bahwa bangsa ini hanya akan berubah jika derajat kaum perempuan dikembalikan sebagaimana mestinya.

Setelah Rukmanah turun, duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari.”
“Ah, dalam libur, apa salahnya!” kata Yusuf.
“Apa salahnya? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik.”

(Layar Terkembang, 2002:55)

Tuti memperlihatkan kejengkelannya pada adiknya Maria yang terlambat bangun. Bahkan Tuti mendebat Yusuf yang seakan mentolerir sikap Maria. Tuti beranggapan bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk itulah yang selama ini menyebabkan perempuan dipandang sebelah mata.

Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba menyambuk ingatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak demikian, perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya …. Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya.

(Layar Terkembang, 2002:75-76)

Tuti menyesalkan sikap adiknya, Maria, yang seakan menghambakan dirinya pada laki-laki. Maria sudah menggantungkan hidupnya pada Yusuf yang sangat ia cintai. Tuti menginginkan percintaan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni sama-sama menghargai. Itulah sebabnya Tuti memilih memutuskan percintaannya dengan Hambali karena ia merasa Hambali hendak mengatur hidupnya. Bahkan, Tuti lebih memilih tiada bersuami jika tidak saling menghargai hak masing-masing.

…. Sekali-sekali ada juga kecewa hatinya menginsafkan betapa lambatnya berubah pekerti kaum perempuan yang dipimpinnya dan betapa kuatnya berurat-berakar berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang turun-temurun. Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani menanggung jawab akan segala perbuatannya.
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.

(Layar Terkembang, 2002:137-138)

Tuti merasa kecewa melihat kondisi perempuan yang sangat sulit diubah pekertinya. Tuti pun merasa sangat susah menembus kuatnya adat dan kebiasaan yang telah dianut turun-temurun. Namun, Tuti tetap berusaha memperkuat dirinya dan menenamkan keyakinan pada dirinya.