Jumat, 13 April 2012

Profesionalitas Aparatur Negara Dipertanyakan

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin pesat. Bahkan beberapa daerah telah merancang program RT/RW Net, yakni jaringan internet yang sampai ke tingkat RT/RW. Tentu saja tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah masyarakat mampu mengakses informasi secara cepat melalui internet. Di kalangan masyarakat, kata internet bukan lagi hal baru bagi mereka. Hadirnya layanan jejaring sosial semakin mendekatkan masyarakat dengan dunia maya.
Beberapa lembaga pendidikan telah menggunakan jaringan internet dalam pengelolaan data di institusinya. Hal ini dapat dilihat dari pendaftaran online yang dilakukan pada perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru. Langkah cerdas seperti ini yang harus menjadi contoh bagi lembaga-lembaga negara untuk mengelola administrasi dan data kepegawaian pada lingkup masing-masing. Terlebih ketika adanya permintaan data dari luar yang merupakan atasan langsung lembaga tersebut.
Sayangnya, perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh aparatur negara. Para stok aparatur negara seakan tidak siap menerima tantangan teknologi di era global saat ini. Mereka lebih cenderung menggunakan cara manual yang menyita waktu, materi, dan tenaga dalam pengelolaan data. Tentunya ini bukan lagi cara cerdas mengingat bahwa cara ini sudah sangat konvensional di era modern.
Salah satu contoh ketertinggalan aparatur negara yang dapat kita lihat adalah pendataan kepegawaian yang masih menggunakan cara manual. Para pegawai mengantre di depan loket lembaga yang mengurusi kepegawaian hanya untuk mendaftarkan dirinya. Tentu saja dilengkapi dengan tumpukan kertas berkas tanda pengabdian. Ironisnya, di antara antrean tersebut terdapat beberapa orang guru yang sering mengajarkan tentang penggunaan dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi kepada siswanya. Tentunya tidak etis jika siswa tidak belajar hanya karena gurunya mengurusi nasib yang semestinya sudah mendapat pelayanan dari negara melalui lembaga yang ditugaskan mengurusi kepegawaian.
Pada tahun 2005, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengadakan pendataan tenaga honorer di semua daerah. Ini merupakan langkah awal yang baik dan tepat untuk mengetahui kuantitas dan kualitas honorer di Indonesia. Namun tidak ada tindak lanjut yang tepat dari program ini. Terbukti sejak keluarnya daftar nama pegawai honorer yang dibagi dalam 2 (dua) kategori, masih ada pendataan-pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini memberi pelung munculnya pegawai siluman yang selalu melengkapi berkas demi memenuhi keinginan penguasa. Padahal, lembaga yang mengurusi kepegawaian tidak perlu repot-repot meluangkan waktu dan tenaga hanya untuk program pendataan karena lembaga yang mempekerjakan pegawai secara rutin memasukkan laporan bulanan tentang data kepegawaian di lembaga masing-masing, baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy.
Contoh lain dari ketidaksiapan lembaga yang mengurusi kepegawaian dalam mengurusi nasib pegawai adalah pembaharuan SK sertifikasi guru. Guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi dan sudah mendapatkan sertifikat, tiap tahunnya harus memasukkan berkas layaknya baru mengusulkan penerbitan SK atau sertifikat. Padahal data yang dimasukkan tiap tahun tidak berbeda. Tentunya hanya dengan memasukkan SK/sertifikat yang sudah diterima sebelumnya, SK/sertifikat baru bisa diterbitkan sebagai pengganti untuk menerima tunjangan profesi sesuai pengabdiannya.
Tata kelola negara di era modern mestinya sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jika program ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, seorang pegawai tidak perlu lagi meninggalkan tugas pokoknya hanya untuk mengurusi nasib. Setiap lembaga mestinya dilengkapi dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang memuat data lembaga tersebut, baik fisik, non fisik, maupun SDM yang ada di dalamnya. Pemberdayaan aparatur negara harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.