Senin, 10 Maret 2014

Menggugat KPK Lewat Teater


Dipublikasikan di Harian FAJAR Makassar,

edisi Minggu 2 Maret 2014

Sebuah karya yang berkualitas tidak hanya mengedepankan unsur hiburan. Karya merupakan media untuk menyampaikan amanat. Setidaknya, dalam sebuah karya yang berkualitas, terdapat dua dimensi amanat, yakni menggugat dan menggugah. Hal inilah yang dilakukan oleh siswa SMA Athirah Makassar yang tergabung dalam Teater Baruga. Melalui teater sebagai sebuah karya seni, siswa SMA Athirah Makassar menggugat KPK yang dikenal sebagai lembaga anti rasuah. Sepeti apa gugatan yang disampaikan?
Pada tanggal 13 Februari 2014, SMA Athirah Makassar mengikuti Festival Teater Pelajar ke-12 di Jakarta. Dalam ajang tersebut, SMA Athirah Makassar menampilkan teater dengan judul “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”. Kisah ini diangkat dari sastra drama karya Prusdianto Jalil dan disutradarai oleh Ahmad Zulfikri. Judul ini mirip dengan judul legenda “Bawang Merah Bawang Putih”. Tidak menutup kemungkinan, judul drama yang ditampilkan terinspirasi dari legenda tersebut.
Legenda “Bawang Merah Bawang Putih” sudah tidak asing bagi penikmat seni. Kisah ini sudah digubah ke dalam berbagai bahasa dan jenis seni pertunjukan. Bahkan legenda tersebut telah merambah layar kaca lewat sinema elektronik (sinetron). Publik pun sudah tidak asing dengan karakter bawaan kedua tokoh utama dalam legenda tersebut.
Dari judul “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”, publik akan bertanya-tanya, seberapa banyak tokoh utama dalam pertunjukan tersebut. Judul ini terkesan tidak efektif. Tentu berbeda dengan legenda “Bawang Merah Bawang Putih” yang tokoh utamanya hanya Bawang Merah dan Bawang Putih. Alangkah panjangnya jika penulis mencantumkan semua tokoh “bawang” dalam judul, sehingga disimpulkan dengan “bawang-bawang lainnya”. Meski demikian, “bawang-bawang lannya” pun terkesan masih panjang. Jika memang dalam pertunjukan tersebut terdiri dari beberapa tokoh utama yang disimbolkan dengan “bawang”, cukup diberi judul “Bawang” saja.
Judul sebagai bagian dari karya adalah hak Prusdianto Jalil sebagai penulis naskah. Tentu di balik keinginan tersebut, terdapat pesan yang ingin diungkapkan, maka diberikanlah “penekanan” pada judul.  Sekilas terlihat penekanan dalam judul terdapat pada “bawang putih”. Namun jika dikaji lebih dalam, penekanan tersebut terdapat pada “bawang-bawang lainnya”. Ada apa dengan “bawang-bawang lainnya”?
Di akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia mendapat hadiah tahun baru dari KPK. Hadiah tahun baru yang dimaksud adalah penahanan mantan ketua umum partai berkuasa yang disangkakan kasus korupsi. Publik pun berterima kasih kepada KPK. Namun di balik penahanan tersebut, ada yang mengganjal hingga KPK mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Dalam surat pemanggilan tersangka, KPK mencantumkan kalimat “kasus-kasus lainnya”. Kata “kasus-kasus lainnya” itulah yang mendapat sorotan, bukan hanya dari kubu tersangka, bahkan dari pengamat dan praktisi hukum. Tidak sedikit pengamat yang meminta KPK untuk mengganti surat tersebut dengan merinci kasus-kasus yang dimaksud. Dalam surat resmi, apalagi yang menyangkut kasus hukum, kata “kasus-kasus lainnya” dinilai tidak tepat. KPK tidak boleh beralasan mungkin karena terlalu banyaknya kasus yang melibatkan tersangka, sehingga cukup ditulis “kasus-kasus lainnya”.
Menulis dokumen resmi tentu berbeda dengan menulis karya fiksi. Dalam karya fiksi, seorang pengarang memiliki hak penuh atas karyanya. begitu juga dengan Prusdianto Jalil dalam karyanya “Bawang Putih dan Bawang-bawang Lainnya”. Meski demikian, sebuah karya yang telah menjadi konsumsi publik, secara otomatis juga menjadi milik publik. Memiliki karya sebagai konsumen diartikan berhak memberikan penilaian atas karya tersebut.
Dari judul tersebut tersirat kritik yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada KPK. Melalui judul karyanya, pengarang menggugat KPK yang menunjukkan arogansi dalam menuliskan redaksi. Pengarang tentu menyadari bahwa judul yang digunakan terlalu panjang atau tidak efektif. Namun itulah pilihannya. Pengarang membiarkan publik sebagai apresiator memberikan penilaian tersendiri berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Selasa, 28 Januari 2014

Citra Lelaki Bugis-Makassar dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

Dipublikasikan di Harian FAJAR Makassar, 

edisi Minggu 12 & 19 Januari 2014


Akhir tahun 2013, demam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) sangat terasa di semua lapisan masyarakat lintas generasi. Perbincangan tentang TKVDW tidak hanya dalam forum diskusi formal dan non formal, tetapi juga marak menjadi bahan diskusi di media sosial, seperti facebook dan twitter. Semua ini tidak terlepas dari rencana pemutaran perdana film TKVDW yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dengan judul yang sama. Film garapan Sunil Soraya tersebut diputar perdana pada tanggal 19 Desember 2013 mendatang.
Animo penonton film, khususnya di Makassar, terbilang sangat tinggi. Jauh sebelum pemutaran perdana film tersebut, berbagai wujud penasaran publik bermunculan dan menjadi tranding topic diskusi di dunia maya. Bagi pembaca novel, mereka penasaran dengan upaya sutradara menampilkan kisah ini dalam bentuk visual yang betul-betul disesuaikan dengan isi buku. Bukan tanpa alasan rasa penasaran ini muncul, karena beberapa karya sastra sebelumnya yang diangkat ke layar lebar, dinilai jauh dari ilustrasi cerita dalam novel. Lain halnya dengan penikmat film semata. Mereka penasarsan dengan cerita tentang novel ini yang mengangkat tanah Bugis-Makassar sebagai salah satu latar tempat. Apalagi film ini digaungkan mengupas tentang perbandingan budaya dua daerah, yakni Bugis-Makassar dan Minangkabau.
Sebagai karya sastra angkatan pujangga baru yang diterbitkan perdana pada tahun 1937, tentu novel TKVDW telah banyak melahirkan sarjana bidang bahasa dan sastra Indonesia. Pembahasan tentang karya sastra ini sudah sering menghiasi meja ujian skripsi. Berbagai bentuk apresiasi pun telah dipertahankan untuk meraih gelar sarjana. Selain karya tulis ilmiah berupa skripsi, tulisan berupa artikel dan resensi dapat ditemukan di dunia maya. Salah satu di antaranya sebuah artikel dengan judul “Matrilineal dalam Novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ Karya HAMKA” yang termuat di blog http://afatlagosi.blogspot.com/2010/11/matrilinear-dalam-novel-tenggelamnya.html?m=1.
Meskipun Buya Hamka selaku penulis cerita adalah orang Minangkabau, namun dalam kisah ini dapat diidentifikasi citra atau karakter lelaki Bugis. Seperti yang dikutip dari blog di atas, kisah TKVDW merupakan gambaran kegalauan Buya Hamka pada kondisi budayanya yang matrilineal. Buya Hamka yang juga dikenal sebagai seorang ulama Muhammadiyah tentu tidak terlalu sependapat dengan budaya matrilineal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Untuk melukiskan kegalauannya, Buya Hamka menghadirkan kisah taaruf antara Zainuddin yang berasal dari Bugis-Makassar dan Hayati yang merupakan suku Minangkabau. Hubungan keduanya pun tidak dapat dilanjutkan karena persoalan budaya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena terlahir dari ibu berdarah Bugis-Makassar. Meskipun ayahnya berdarah Minangkabau, Zainuddin tetap dianggap sebagai suku Bugis-Makassar. Inilah yang menjadi awal konflik dalam kisah tersebut. Perjalanan kisah cinta Zainuddin dan Hayati dengan segala tantangannya adalah media yang digunakan Buya Hamka untuk mengungkapakan ketidaksetujuannya dengan budaya matrilineal yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam. 
Dalam kisah TKVDW, Buya Hamka mengangkat latar tempat tanah Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran tokoh Zainuddin. Diceitakan sebelumnya bahwa Pendekar Sutan (ayah Zainuddin) adalah seorang Minangkabau yang mengembara karena diusir dari tanah kelahirannya. Pengasingan diri Pendekar Sutan juga tidak terlepas dari persoalan matrlineal di tanah kelahirannya. Pendekar Sutan tidak terima sistem pembagian warisan ayahnya yang telah meninggal. Pendekar Sutan tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya karena dia seorang laki-laki yang tidak memiliki saudara perempuan. Pendekar Sutan pun membunuh Datuk Mantari Labih yang masih terhitung kerabatnya karena mengambil semua harta warisan ayah Pendekar Sutan. Pendekar Sutan pun dihukum atas perbuatannya. Setelah menjalani hukuman, Pendekar Sutan hijrah ke Tanah Bugis-Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah, seorang gadis berdarah Bugis-Makassar.
Buya Hamka memilih Bugis-Makassar sebagai tempat berlabuh Pendekar Sutan tentu bukan tanpa alasan. Imajinasi Buya Hamka melayang hingga ke pulau Sulawesi karena melihat budaya patrilineal di daerah ini potensial untuk diperbandingkan dengan budaya matrilineal di Minangkabau. Persepsi Buya Hamka terhadap budaya Bugis-Makassar didasarkan atas pengalamannya selama bekerja sebagai guru di Makassar. Meski banyak penelitian yang menunjukkan sistem sosial bilateral yang dianut Bugis-Makassar, tapi masuknya Islam diyakini telah banyak mempengaruhinya, termasuk sistem garis keturunan patrilineal. Hal ini dapat dilihat dari salah satu nilai kearifan lokal Bugis “amboq-e mappabbati” yang berarti menarik garis keturunan dari ayah.
Sebagai tokoh yang lahir dan dibesarkan di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin tumbuh dengan karakter lelaki Bugis-Makassar. Buya Hamka seakan lupa bahwa ayah Zainuddin seorang Minangkabau. Hanya karena lahir di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin disemati karakter Bugis-Makassar. Tentu karakter ini diturunkan dari Daeng Habibah (ibu Zainuddin) yang berdarah Bugis-Makassar. Sadar atau tak sadar, Buya Hamka menanamkan matrilineal pada tokoh Zainuddin.

Citra Lelaki Pelaut

Sudah sangat tepat Buya Hamka mengangkat latar tempat Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran Zainuddin. Eksistensi masyarakat Bugis-Makassar sebagai pelaut dengan kapal pinisinya sudah terkenal ke penjuru negeri. Kisah tentang Sawerigading, La Maddukkelleng, dan Amannagappa adalah sebagian dari kisah-kisah manusia Bugis-Makassar yang bersahabat dengan laut. Citra inilah yang kemudian disematkan pada tokoh Zainuddin dalam cerita TKVDW.
Menginjak usia remaja, pergolakan batin Zainuddin tentang sosok ayah mulai mencuat. Terlebih Zainuddin tidak mengenal sosok ayahnya karena Pendekar Sutan meninggal saat Zainuddin masih dalam kandungan. Tekanan psikologis pun berdatangan dari kerabat dan lingkungan masyarakat. Zainuddin tidak dianggap sebagai orang Bugis-Makassar, tetapi orang Minangkabau. Hal ini disebabkan ayah Zainuddin adalah orang Minangkabau. Jiwa pelaut muncul dalam diri Zainuddin. Dia berniat mengarungi lautan mengembara ke pulau Sumatera untuk mencari keluarga ayahnya. Citra lelaki Bugis-Makassar sebagai pelaut sudah mulai muncul dalam diri Zainuddin.

Citra Patrilineal

Sesampainya di Batipuh, tanah kelahiran ayahnya, Zainuddin berhasil bertemu dengan rumpun keluarga ayahnya. Karena telah mendengarkan kisah hidup ayahnya dari Daeng Base (dalam cerita dituliskan Mak Base), kerabat yang mengasuhnya, Zainuddin tidak menuntut banyak pada keluarga ayahnya. Mengingat dirinya seorang laki-laki yang mengembara ke negeri matrilineal, Zainuddin sudah merasa sangat bersyukur bisa diterima tinggal di rumah salah seorang kerabat ayahnya.
Meski sudah tinggal beberapa waktu di Batipuh, citra lelaki Bugis rupanya masih tersemat dalam diri Zainuddin. Dia merasa tidak nyaman dengan kondisi yang dihadapinya. Sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku mengusik kejiwaannya. Zainuddin pun sering mencurahkan perasaannya pada seorang gadis Minangkabau bernama Hayati. Perkenalannya dengan Hayati memunculkan masalah yang menjadi inti konflik dalam cerita. Zainuddin jatuh cinta pada Hayati, dan begitu pula sebaliknya. Mereka akhirnya saling mencintai.
Perasaan memang tidak dapat ditolak datangnya. Namun sikap Zainuddin yang mengungkapkan perasaan cintanya pada Hayati bisa dinilai salah. Zainuddin seakan lupa adat istiadat di daerah negeri Minangkabau yang matrilineal. Sebagai lelaki, Zainuddin tidak merasa bersalah jika mengungkapkan perasaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya karakter patrilineal Bugis yang melekat pada tokoh Zainuddin.
Karena kecintaannya pada Hayati, Zainuddin berharap bisa melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan menjadi pasangan halal. Namun harapan Zainuddin bertepuk sebelah tangan. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena tidak dianggap sebagai orang Minangkabau. Adat istiadat di daerahnya tidak membolehkan menikahkan seorang anak perempuan Minangkabau dengan lelaki asing.

Citra Lelaki Menjunjung Siri

Manusia Bugis sangat dikenal dengan sikap menjunjung tinggi siri (harga diri). Namun terkadang konsep siri ini disalahartikan. Atas nama siri, banyak orang yang melakukan perbuatan negatif yang tidak semestinya dilakukan. Hal inilah yang sempat dialami oleh tokoh Zainuddin. Rencana pernikahan Hayati dengan Azis, lelaki pilihan orang tuanya, sempat membuat Zainuddin gelap mata. Zainuddin berniat bunuh diri karena merasa malu dan patah hati.
Beruntung, rencana itu digagalkan oleh Muluk, sahabat Zainuddin. Muluk menasihati Zainuddin dan memberikan semangat kepada Zainuddin. Muluk melihat melihat potensi menulis pada diri Zainuddin. Atas saran sahabatnya, Zainuddin hijrah ke Jakarta, lalu ke Surabaya, dan menjadi seorang penulis terkenal dengan nama Tuan Shabir. Tulisan-tulisan Zainuddin pun dibaca oleh Hayati yang pindah ke Medan mengikuti suaminya. Meski tak mengetahui bahwa karya tersebut adalah tulisan Zainuddin, namun Hayati meyakini bahwa Tuan Shabir itu adalah Zainuddin. Hal ini disebabkan oleh kisah-kisah yang ditulis Tuan Shabir mirip dengan kisah hidup Zainuddin.
Perjalanan rumah tangga Hayati dan Azis rupanya tak berjalan mulus. Karena tabiat buruk Azis, dia bangkrut dan hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, mereka bertemu dengan Zainuddin dalam sebuat pertunjukan karya Tuan Shabir yang tak lain adalah Zainuddin. Mereka kemudian menjalin hubungan baik layaknya saudara. Baik Zainuddin, maupun Hayatid dan Azis, tidak pernah mengungkit masa lalu mereka.
Di Surabaya, tabiat buruk Azis tidak berubah. Azis kembali bangkrut dan harus menitipkan Hayati pada Zainuddin. Di sini kembali terlihat citra manusia Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi siri pada diri Zainuddin. Selama Hayati tinggal di rumahnya, Zainuddin lebih memilih tinggal di hotel karena menghindari munculnya fitnah. Tak lama setelah kepergian Azis, datanglah sepucuk surat dari Azis yang menyatakan menceraikan Hayati.
Dengan kepergian Azis, Zainuddin bisa kembali merajut hubungannya dengan Hayati. Namun kali ini, citra lelaki Bugis-Makassar menjadi penghalang hubungan mereka. Egoisme Zainuddin sebagai lelaki muncul dengan menolak Hayati menjadi istrinya. Zainuddin sebagai seorang pemuda tidak bisa menerima Hayati yang sudah berstatus janda. Hal ini dapat dilihat dari ucapan Zainuddin kepada Hayati dengan mengatakan, “Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.” Sikap yang ditunjukkan Zainuddin adalah bentuk perwujudan menjunjung tinggi harga diri (siri) sebagai seorang pemuda. Dengan segala yang dimilikinya, Zainuddin bisa saja menikah dengan siapa pun gadis yang diinginkannya.

Citra Lelaki Bertanggung Jawab

Terlepas dari persoalan cinta dan harga diri, tokoh Zainuddin dapat dikatakan sebagai cermin lelaki yang bertanggung jawab. Meskipun Zainuddin pernah disakiti, namun dia tetap menerima Hayati tinggal di rumahnya. Zainuddin tidak merasa dendam, baik pada Hayati, maupun pada Azis. Selama tinggal di rumahnya, Zainuddin merasa bertanggung jawab atas segala kebutuhan Hayati. Bahkan ketika Hayati hendak pulang ke Padang, Zainuddin membelikan tiket kapal untuk tumpangan Hayati.
Secara apik, Buya Hamka telah menggambarkan beberapa citra lelaki Bugis-Makassar dalam novelnya. Namun di balik semua itu, ada citra lelaki Bugis-Makassar yang luput dari pengamatan Buya Hamka. Saat tokoh Zainuddin patah hati yang membuatnya gelap mata hingga ingin bunuh diri, itu sama sekali bukan bentuk pengamalan siri dalam masyarakat Bugis-Makassar. Pada umumnya, lelaki Bugis-Makassar yang ditinggal nikah oleh kekasih hatinya, akan segera mencari pengganti. Bukan sebagai pelampiasan, melainkan ungkapan bentuk pengamalan siri yang dianut masyarakat Bugis-Makassar.
Secara finansial, tokoh Zainuddin digambarkan orang yang mapan. Meski demikian, Buya Hamka tidak menghadirkan citra lelaki poligami yang banyak oleh (sebagian) lelaki Bugis-Makassar. Adagium Bugis yang sering diartikan “banyak uang ganti istri” tidak berlaku dalam kisah ini. Namun jika kembali pada hakikat tokoh Zainuddin, pandangan Buya Hamka dapat dibenarkan. Secara garis keturunan yang benar berdasarkan ajaran Islam, Zainuddin bukanlah orang Bugis-Makassar, melainkan Minangkabau. Di sisi lain, Buya Hamka juga ingin menunjukkan kualitas cinta Zainuddin kepada Hayati. Kesetiaan Zainuddin diungkapkan dengan sebuah lukisan bergambar paras Hayati dengan tulisan “Permataku yang Hilang”.
Dalam kisah nyata, beruntung Ibu Mufidah berasal dari keluarga Muhammadiyah yang menjunjung nilai-nilai ajaran Islam. Meski Ibu Mufidah berasal dai Padang, sebuah negeri matrilineal, Bapak Jusuf Kalla (JK) dari negeri Bugis-Makassar tidak perlu mengikuti jejak hidup Zainuddin dalam mewujudkan cintanya. Serupa tapi tak sama dengan kisah cinta Pak JK dan Ibu Mufidah. Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, yang merupakan keturunan Bugis-Makassar berhasil mempersunting Rosmah Mansor, seorang gadis keturunan Minangkabau. Kisah cinta keduanya telah menembus batas budaya matrilineal.