Dipublikasikan di Harian FAJAR Makassar,edisi Minggu 12 & 19 Januari 2014 |
Akhir tahun 2013,
demam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW) sangat terasa di semua lapisan
masyarakat lintas generasi. Perbincangan tentang TKVDW tidak hanya dalam forum
diskusi formal dan non formal, tetapi juga marak menjadi bahan diskusi di media
sosial, seperti facebook dan twitter. Semua ini tidak terlepas
dari rencana pemutaran perdana film TKVDW yang diangkat dari novel karya Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dengan judul yang sama. Film garapan Sunil
Soraya tersebut diputar perdana pada tanggal 19 Desember 2013 mendatang.
Animo penonton
film, khususnya di Makassar, terbilang sangat tinggi. Jauh sebelum pemutaran
perdana film tersebut, berbagai wujud penasaran publik bermunculan dan menjadi tranding
topic diskusi di dunia maya. Bagi pembaca novel, mereka penasaran dengan
upaya sutradara menampilkan kisah ini dalam bentuk visual yang betul-betul
disesuaikan dengan isi buku. Bukan tanpa alasan rasa penasaran ini muncul,
karena beberapa karya sastra sebelumnya yang diangkat ke layar lebar, dinilai jauh
dari ilustrasi cerita dalam novel. Lain halnya dengan penikmat film semata.
Mereka penasarsan dengan cerita tentang novel ini yang mengangkat tanah
Bugis-Makassar sebagai salah satu latar tempat. Apalagi film ini digaungkan
mengupas tentang perbandingan budaya dua daerah, yakni Bugis-Makassar dan
Minangkabau.
Sebagai karya
sastra angkatan pujangga baru yang diterbitkan perdana pada tahun 1937, tentu
novel TKVDW telah banyak melahirkan sarjana bidang bahasa dan sastra Indonesia.
Pembahasan tentang karya sastra ini sudah sering menghiasi meja ujian skripsi.
Berbagai bentuk apresiasi pun telah dipertahankan untuk meraih gelar sarjana.
Selain karya tulis ilmiah berupa skripsi, tulisan berupa artikel dan resensi
dapat ditemukan di dunia maya. Salah satu di antaranya sebuah artikel dengan
judul “Matrilineal dalam Novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ Karya HAMKA”
yang termuat di blog http://afatlagosi.blogspot.com/2010/11/matrilinear-dalam-novel-tenggelamnya.html?m=1.
Meskipun Buya
Hamka selaku penulis cerita adalah orang Minangkabau, namun dalam kisah ini
dapat diidentifikasi citra atau karakter lelaki Bugis. Seperti yang dikutip
dari blog di atas, kisah TKVDW merupakan gambaran kegalauan Buya Hamka pada
kondisi budayanya yang matrilineal. Buya Hamka yang juga dikenal sebagai
seorang ulama Muhammadiyah tentu tidak terlalu sependapat dengan budaya
matrilineal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Untuk melukiskan
kegalauannya, Buya Hamka menghadirkan kisah taaruf antara Zainuddin yang
berasal dari Bugis-Makassar dan Hayati yang merupakan suku Minangkabau.
Hubungan keduanya pun tidak dapat dilanjutkan karena persoalan budaya. Keluarga
Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena terlahir dari ibu berdarah
Bugis-Makassar. Meskipun ayahnya berdarah Minangkabau, Zainuddin tetap dianggap
sebagai suku Bugis-Makassar. Inilah yang menjadi awal konflik dalam kisah
tersebut. Perjalanan kisah cinta Zainuddin dan Hayati dengan segala
tantangannya adalah media yang digunakan Buya Hamka untuk mengungkapakan ketidaksetujuannya
dengan budaya matrilineal yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Dalam kisah TKVDW, Buya Hamka mengangkat latar tempat tanah Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran tokoh Zainuddin. Diceitakan sebelumnya bahwa Pendekar Sutan (ayah Zainuddin) adalah seorang Minangkabau yang mengembara karena diusir dari tanah kelahirannya. Pengasingan diri Pendekar Sutan juga tidak terlepas dari persoalan matrlineal di tanah kelahirannya. Pendekar Sutan tidak terima sistem pembagian warisan ayahnya yang telah meninggal. Pendekar Sutan tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya karena dia seorang laki-laki yang tidak memiliki saudara perempuan. Pendekar Sutan pun membunuh Datuk Mantari Labih yang masih terhitung kerabatnya karena mengambil semua harta warisan ayah Pendekar Sutan. Pendekar Sutan pun dihukum atas perbuatannya. Setelah menjalani hukuman, Pendekar Sutan hijrah ke Tanah Bugis-Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah, seorang gadis berdarah Bugis-Makassar.
Dalam kisah TKVDW, Buya Hamka mengangkat latar tempat tanah Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran tokoh Zainuddin. Diceitakan sebelumnya bahwa Pendekar Sutan (ayah Zainuddin) adalah seorang Minangkabau yang mengembara karena diusir dari tanah kelahirannya. Pengasingan diri Pendekar Sutan juga tidak terlepas dari persoalan matrlineal di tanah kelahirannya. Pendekar Sutan tidak terima sistem pembagian warisan ayahnya yang telah meninggal. Pendekar Sutan tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya karena dia seorang laki-laki yang tidak memiliki saudara perempuan. Pendekar Sutan pun membunuh Datuk Mantari Labih yang masih terhitung kerabatnya karena mengambil semua harta warisan ayah Pendekar Sutan. Pendekar Sutan pun dihukum atas perbuatannya. Setelah menjalani hukuman, Pendekar Sutan hijrah ke Tanah Bugis-Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah, seorang gadis berdarah Bugis-Makassar.
Buya Hamka memilih
Bugis-Makassar sebagai tempat berlabuh Pendekar Sutan tentu bukan tanpa alasan.
Imajinasi Buya Hamka melayang hingga ke pulau Sulawesi karena melihat budaya patrilineal
di daerah ini potensial untuk diperbandingkan dengan budaya matrilineal di
Minangkabau. Persepsi Buya Hamka terhadap budaya Bugis-Makassar didasarkan atas
pengalamannya selama bekerja sebagai guru di Makassar. Meski banyak penelitian
yang menunjukkan sistem sosial bilateral yang dianut Bugis-Makassar, tapi
masuknya Islam diyakini telah banyak mempengaruhinya, termasuk sistem garis
keturunan patrilineal. Hal ini dapat dilihat dari salah satu nilai kearifan
lokal Bugis “amboq-e mappabbati” yang berarti menarik garis keturunan
dari ayah.
Sebagai tokoh yang
lahir dan dibesarkan di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin tumbuh dengan
karakter lelaki Bugis-Makassar. Buya Hamka seakan lupa bahwa ayah Zainuddin
seorang Minangkabau. Hanya karena lahir di kalangan Bugis-Makassar, Zainuddin
disemati karakter Bugis-Makassar. Tentu karakter ini diturunkan dari Daeng
Habibah (ibu Zainuddin) yang berdarah Bugis-Makassar. Sadar atau tak sadar,
Buya Hamka menanamkan matrilineal pada tokoh Zainuddin.
Citra Lelaki Pelaut
Sudah sangat tepat
Buya Hamka mengangkat latar tempat Bugis-Makassar sebagai tanah kelahiran
Zainuddin. Eksistensi masyarakat Bugis-Makassar sebagai pelaut dengan kapal
pinisinya sudah terkenal ke penjuru negeri. Kisah tentang Sawerigading, La
Maddukkelleng, dan Amannagappa adalah sebagian dari kisah-kisah manusia Bugis-Makassar
yang bersahabat dengan laut. Citra inilah yang kemudian disematkan pada tokoh
Zainuddin dalam cerita TKVDW.
Menginjak usia
remaja, pergolakan batin Zainuddin tentang sosok ayah mulai mencuat. Terlebih
Zainuddin tidak mengenal sosok ayahnya karena Pendekar Sutan meninggal saat
Zainuddin masih dalam kandungan. Tekanan psikologis pun berdatangan dari
kerabat dan lingkungan masyarakat. Zainuddin tidak dianggap sebagai orang
Bugis-Makassar, tetapi orang Minangkabau. Hal ini disebabkan ayah Zainuddin
adalah orang Minangkabau. Jiwa pelaut muncul dalam diri Zainuddin. Dia berniat
mengarungi lautan mengembara ke pulau Sumatera untuk mencari keluarga ayahnya. Citra
lelaki Bugis-Makassar sebagai pelaut sudah mulai muncul dalam diri Zainuddin.
Citra Patrilineal
Sesampainya di Batipuh, tanah kelahiran ayahnya,
Zainuddin berhasil bertemu dengan rumpun keluarga ayahnya. Karena telah
mendengarkan kisah hidup ayahnya dari Daeng Base (dalam cerita dituliskan Mak
Base), kerabat yang mengasuhnya, Zainuddin tidak menuntut banyak pada keluarga
ayahnya. Mengingat dirinya seorang laki-laki yang mengembara ke negeri
matrilineal, Zainuddin sudah merasa sangat bersyukur bisa diterima tinggal di
rumah salah seorang kerabat ayahnya.
Meski sudah tinggal beberapa waktu di Batipuh,
citra lelaki Bugis rupanya masih tersemat dalam diri Zainuddin. Dia merasa
tidak nyaman dengan kondisi yang dihadapinya. Sistem kekerabatan matrilineal
yang berlaku mengusik kejiwaannya. Zainuddin pun sering mencurahkan perasaannya
pada seorang gadis Minangkabau bernama Hayati. Perkenalannya dengan Hayati
memunculkan masalah yang menjadi inti konflik dalam cerita. Zainuddin jatuh
cinta pada Hayati, dan begitu pula sebaliknya. Mereka akhirnya saling
mencintai.
Perasaan memang tidak dapat ditolak datangnya.
Namun sikap Zainuddin yang mengungkapkan perasaan cintanya pada Hayati bisa
dinilai salah. Zainuddin seakan lupa adat istiadat di daerah negeri Minangkabau
yang matrilineal. Sebagai lelaki, Zainuddin tidak merasa bersalah jika
mengungkapkan perasaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya karakter patrilineal
Bugis yang melekat pada tokoh Zainuddin.
Karena kecintaannya pada Hayati, Zainuddin berharap
bisa melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan menjadi pasangan halal.
Namun harapan Zainuddin bertepuk sebelah tangan. Keluarga Hayati tidak bisa
menerima Zainuddin karena tidak dianggap sebagai orang Minangkabau. Adat
istiadat di daerahnya tidak membolehkan menikahkan seorang anak perempuan
Minangkabau dengan lelaki asing.
Citra Lelaki Menjunjung Siri
Manusia Bugis
sangat dikenal dengan sikap menjunjung tinggi siri (harga diri). Namun
terkadang konsep siri ini disalahartikan. Atas nama siri, banyak
orang yang melakukan perbuatan negatif yang tidak semestinya dilakukan. Hal
inilah yang sempat dialami oleh tokoh Zainuddin. Rencana pernikahan Hayati
dengan Azis, lelaki pilihan orang tuanya, sempat membuat Zainuddin gelap mata. Zainuddin
berniat bunuh diri karena merasa malu dan patah hati.
Beruntung, rencana
itu digagalkan oleh Muluk, sahabat Zainuddin. Muluk menasihati Zainuddin dan
memberikan semangat kepada Zainuddin. Muluk melihat melihat potensi menulis
pada diri Zainuddin. Atas saran sahabatnya, Zainuddin hijrah ke Jakarta, lalu
ke Surabaya, dan menjadi seorang penulis terkenal dengan nama Tuan Shabir. Tulisan-tulisan
Zainuddin pun dibaca oleh Hayati yang pindah ke Medan mengikuti suaminya. Meski
tak mengetahui bahwa karya tersebut adalah tulisan Zainuddin, namun Hayati
meyakini bahwa Tuan Shabir itu adalah Zainuddin. Hal ini disebabkan oleh
kisah-kisah yang ditulis Tuan Shabir mirip dengan kisah hidup Zainuddin.
Perjalanan rumah
tangga Hayati dan Azis rupanya tak berjalan mulus. Karena tabiat buruk Azis,
dia bangkrut dan hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, mereka bertemu dengan
Zainuddin dalam sebuat pertunjukan karya Tuan Shabir yang tak lain adalah
Zainuddin. Mereka kemudian menjalin hubungan baik layaknya saudara. Baik
Zainuddin, maupun Hayatid dan Azis, tidak pernah mengungkit masa lalu mereka.
Di Surabaya, tabiat
buruk Azis tidak berubah. Azis kembali bangkrut dan harus menitipkan Hayati
pada Zainuddin. Di sini kembali terlihat citra manusia Bugis-Makassar yang
menjunjung tinggi siri pada diri Zainuddin. Selama Hayati tinggal di
rumahnya, Zainuddin lebih memilih tinggal di hotel karena menghindari munculnya
fitnah. Tak lama setelah kepergian Azis, datanglah sepucuk surat dari Azis yang
menyatakan menceraikan Hayati.
Dengan kepergian
Azis, Zainuddin bisa kembali merajut hubungannya dengan Hayati. Namun kali ini,
citra lelaki Bugis-Makassar menjadi penghalang hubungan mereka. Egoisme
Zainuddin sebagai lelaki muncul dengan menolak Hayati menjadi istrinya.
Zainuddin sebagai seorang pemuda tidak bisa menerima Hayati yang sudah
berstatus janda. Hal ini dapat dilihat dari ucapan Zainuddin kepada Hayati dengan
mengatakan, “Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa.”
Sikap yang ditunjukkan Zainuddin adalah bentuk perwujudan menjunjung tinggi harga
diri (siri) sebagai seorang pemuda. Dengan segala yang dimilikinya,
Zainuddin bisa saja menikah dengan siapa pun gadis yang diinginkannya.
Citra Lelaki Bertanggung Jawab
Terlepas dari
persoalan cinta dan harga diri, tokoh Zainuddin dapat dikatakan sebagai cermin
lelaki yang bertanggung jawab. Meskipun Zainuddin pernah disakiti, namun dia
tetap menerima Hayati tinggal di rumahnya. Zainuddin tidak merasa dendam, baik
pada Hayati, maupun pada Azis. Selama tinggal di rumahnya, Zainuddin merasa
bertanggung jawab atas segala kebutuhan Hayati. Bahkan ketika Hayati hendak
pulang ke Padang, Zainuddin membelikan tiket kapal untuk tumpangan Hayati.
Secara apik, Buya
Hamka telah menggambarkan beberapa citra lelaki Bugis-Makassar dalam novelnya.
Namun di balik semua itu, ada citra lelaki Bugis-Makassar yang luput dari
pengamatan Buya Hamka. Saat tokoh Zainuddin patah hati yang membuatnya gelap
mata hingga ingin bunuh diri, itu sama sekali bukan bentuk pengamalan siri dalam
masyarakat Bugis-Makassar. Pada umumnya, lelaki Bugis-Makassar yang ditinggal
nikah oleh kekasih hatinya, akan segera mencari pengganti. Bukan sebagai
pelampiasan, melainkan ungkapan bentuk pengamalan siri yang dianut
masyarakat Bugis-Makassar.
Secara finansial,
tokoh Zainuddin digambarkan orang yang mapan. Meski demikian, Buya Hamka tidak
menghadirkan citra lelaki poligami yang banyak oleh (sebagian) lelaki Bugis-Makassar.
Adagium Bugis yang sering diartikan “banyak uang ganti istri” tidak
berlaku dalam kisah ini. Namun jika kembali pada hakikat tokoh Zainuddin, pandangan
Buya Hamka dapat dibenarkan. Secara garis keturunan yang benar berdasarkan
ajaran Islam, Zainuddin bukanlah orang Bugis-Makassar, melainkan Minangkabau. Di
sisi lain, Buya Hamka juga ingin menunjukkan kualitas cinta Zainuddin kepada
Hayati. Kesetiaan Zainuddin diungkapkan dengan sebuah lukisan bergambar paras
Hayati dengan tulisan “Permataku yang Hilang”.
Dalam kisah nyata,
beruntung Ibu Mufidah berasal dari keluarga Muhammadiyah yang menjunjung
nilai-nilai ajaran Islam. Meski Ibu Mufidah berasal dai Padang, sebuah negeri
matrilineal, Bapak Jusuf Kalla (JK) dari negeri Bugis-Makassar tidak perlu
mengikuti jejak hidup Zainuddin dalam mewujudkan cintanya. Serupa tapi tak sama
dengan kisah cinta Pak JK dan Ibu Mufidah. Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun
Razak, yang merupakan keturunan Bugis-Makassar berhasil mempersunting Rosmah
Mansor, seorang gadis keturunan Minangkabau. Kisah cinta keduanya telah
menembus batas budaya matrilineal.