Selasa, 02 November 2010

Matrilinear dalam Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" Karya HAMKA


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah karya tersohor yang ditulis oleh HAMKA. Novel yang berisi kisah cinta antara seorang pemuda Zainuddin dengan seorang gadis bernama Hayati. Cinta mereka tidak mendapat restu keluarga Hayati. Pinangan Zainudin ditolak. Penolakan tersebut berawal dari persoalan adat istiadat yang telah turun-temurun dijalankan oleh masyarakat suku Minangkabau yang menjadi latar dalam cerita tersebut, yakni budaya matrilinear.

HAMKA menulis buku ini ketika berusia 31 tahun. Pada usia yang relatif masih muda, sikap kritis masih memenuhi jiwanya. Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” merupakan bentuk pemberontakan jiwa HAMKA pada kungkungan budaya matrilinear yang dianut masyarakat sekitarnya. HAMKA yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang religius menganggap budaya matrilinear tidak tepat. Hal ini bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Beberapa kutipan penggalan novel seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, menggambarkan nilai-nilai budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. Bentuk-bentuk penerapan budaya matrilinear yang dipaparkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” meliputi silsilah keluarga, pengaturan ahli waris, pernikahan, dan hubungan masyarakat.

Dalam silsilah keluarga, seorang anak tidak dianggap sebagai suku Minangkabau jika tidak dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Minangkabau. Bentuk penerapan nilai budaya matrilinear ini digambarkan oleh HAMKA melalui tokoh Zainuddin. Walaupun ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau, tetapi Zainuddin tetap dianggap orang asing karena dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Bugis-Makassar.

Zainuddin yang meninggalkan tanah kelahirannya di Makassar, pergi ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya yang masih hidup. Bukan tidak bertemu, tetapi pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya tidak seperti yang dibayangkan oleh Zainuddin. Zainuddin melihat betapa jauh perbedaan budaya antara Bugis-Makassar dengan Minangkabau.

Berbeda dengan suku lain di Indonesia, suku Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut budaya matrilinear. Dalam budaya matrilinear, seorang anak tidak berhak atas harta ayahnya. Jika ayahnya meninggalkan harta setelah wafat, harta tersebut harus beralih tangan ke saudaranya. Hal ini pulalah yang dialami oleh Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Zainuddin bermaksud tinggal di negeri Padang karena merasa memiliki hak atas harta ayahnya, ternyata harus menerima kenyataan yang berbeda. Zainuddin sama sekali tidak mendapatkan harta tersebut.

Dalam hal pernikahan, suku Minangkabau sangat menghargai kaum perempuan. Untuk memutuskan hal ikhwal pernikahan, perempuan juga dimintai pendapatnya. Hal ini dapat dilihat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Dalam novel ini, kaum laki-laki meminta pendapat kaum perempuan ketika membicarakan rencana pernikahan Hayati dengan Azis.

Tidak hanya seputar urusan keluarga. Nilai-nilai budaya matrilinear diterapkan juga dalam hubungan masyarakat. Orang-orang Minangkabau memandang sebelah mata terhadap suku lain. Suku Minangkabau menerima suku lain bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka sering membatasi hubungan tersebut. Penggambaran ini diungkapkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Zainuddin yang dianggap sebagai orang Bugis-Makassar terkadang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.

Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat melihat gambaran bahwa sebenarnya sang pengarang ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing.

Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan.


Dalam petualangan hidup Zainuddin mencari jati diri, Zainuddin harus meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Makassar, menuju Padang. Selama tinggal di tanah Makassar, Zainuddin merasa belum menemukan jatidiri yang sebenarnya. Orang-orang di sekelilingnya tidak menganggapnya sebagai orang Bugis-Makassar karena Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang berasal dari Padang dan bersuku Minangkabau. Suku Bugis-Makassar menganut garis keturunan patrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ayah. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menganggap Zainuddin sebagai orang Minangkabau.

Kondisi inilah yang menyebabkan Zainuddin meninggalkan Makassar menuju Padang dengan tujuan mencari keluarga ayahnya. Usaha Zainuddin tidak sia-sia karena berhasil menemukan keluarga ayahnya. Namun lagi-lagi Zainuddin harus terbetuk pada persoalan budaya Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ibu. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel di bawah ini.

Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut orang di Minangkabau dinamai “anak pisang”. Maklumlah orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya di tanah kelahiran leluhurnya ternyata tidak memenuhi keinginan Zainuddin untuk menemukan jatidirinya. Dia sama saja dengan orang asing di tanah kelahiran leluhurnya, karena adat dan budaya yang dianut oleh suku Minangkabau yang menyebabkan orang-orang di Padang menganggap Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang Bugis-Makassar.

Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka padanya, suka juga, tapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21)

Perjalanan Zainuddin untuk mencari jatidirinya benar-benar terbentur pada masalah adat dan budaya. Zainuddin dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, Zainuddin ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari suatu suku, namun kenyataan yang dihadapi Zainuddin berbeda. Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Minangkabau dan seorang ibu yang bersuku Bugis-Makassar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan gambaran budaya matrilinear yang diangkat oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Hal lain yang menunjukkan budaya matrilinear dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ketika Zainuddin teringat pada pesan Mak Base sebelum Zainuddin berangkat ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya. Mak Base menyampaikan kepada Zainuddin bahwa suku Minangkabau berbeda dengan suku lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel berikut.

Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bkan pandangan sama rata, hanya da juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabaulain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diiambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang benar nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Kondisi yang dialami oleh Zainuddin tidak hanya menimpa dirinya, melainkan juga keturunannya kelak. Karena budaya matrilinear di negeri Padang, Zainuddin tidak boleh mewariskan gelar kepada keturunannya jika pun Zainuddin dipinjamkan gelar oleh keluarga ayahnya setelah menjalankan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh adat. Persyaratan peminjaman gelar dalam budaya matrilinear digambarkan oleh HAMKA dalam novelnya.

Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula itu kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan dilabuh nan golong nan ramai.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22)

Budaya matrilinear dalam suku Minangkabau menempatkan suku lain sebagai orang asing walaupun masih ada ikatan darah. Hal inilah yang dialami oleh Zainuddin selama tinggal di Padang. Kakek-neneknya tidak dapat menahan Zainuddin untuk tinggal bersamanya.

Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, “Oh ... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.”
Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pendekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari “Bugis” ini.
Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22-23)

Kenyataan pahit harus dialami oleh Zainuddin ketika hubungan percintaannya diketahui oleh keluarga Hayati, kekasih hatinya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Tidak jelas asal-usulnya.

“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.”
Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanyal. Lalu dia berkata, “Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan keturunan?”
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan sembarang orang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 55)

Peringatan yang diterima Zainuddin dari keluarga Hayati mengingatkannya pada rencananya mencari jatidiri. Zainuddin menyadari bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Ketika berada di Makassar, dia disebut-sebut sebagai orang Minangkabau. Namun jika dia berada di Padang, dia disebut-sebut sebagai orang Bugis-Makassar. Zainuddin tidak dipandang sah sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya berdarah Minangkabau karena budaya matrilinear yang dianut di daerah tersebut.

.... Dia teringat dirinya, tak bersuku, rak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 56)

Budaya matrilinear semakin menyudutkan Zainuddin dalam pergaulan dengan masyarakat. Tidak hanya sampai di situ. Zainuddin juga harus mengorbankan perasaan cintanya kepada Hayati. Pihak keluaga Hayati menganggap Zainuddin tidak pantas mendampingi Hayati karena bukan dari golongan mereka. Zainuddin bukanlah orang Minangkabau.

“Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengammbil saja jadi istrinya.”
“Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.”
“Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?”
“Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear telah turun-temurun diwariskan di Minangkabau. Hal inilah yang diungkapkan oleh HAMKA melalui dialog tokoh dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Dialog yang mempersoalkan jatidiri Zainuddin sangat jelas menggambarkan pandangan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau.

“Kan ayahnya orang kita juga!” ujar seorang mamak yang agak muda.
“Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada: Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemanakan kita, ke mana kemanakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58)

Budaya matrilinear lebih jelas dipaparkan oleh HAMKA melalui dialog antara Mulu, sahabat Zainuddin, dengan Hayati. Muluk mengingatkan kepada Hayati tentang peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Zainuddian terkait dengan hubungannya bersama Hayati yang dipisahkan oleh adat istiadat suku Minangkabau.
“Tak ada ranggas di Tanjung,
cumanak ampaian kain.
Tak ada emas dikandung,
dunsanak jadi ‘rang lain.”

Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya Tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 187)

Rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya HAMKA sangat kompleks dalam menggambarkan budaya matrilinear yang dianut oleh suku Minangkabau. Dalam novel ini diuraikan secara konkret nilai-nilai budaya matrilinear yang memebedakan suku Minangkabau dengan suku-suku lain, utamanya yang ada di Indonesia. Pengarang hanya menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai latar dalam cerita. Sorotan utamanya bukan pada persoalan kapal tersebut, melainkan pada persoalan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dan Hayati harus berpisah arah dan mengambil jalan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda setelah membaca isi blog ini.