Selasa, 02 November 2010

Emansipasi Wanita dalam Novel "Layar Terkembang" Karya Sutan Takdir Alisyahbana


Emansipasi wanita sangat jelas tergambar dalam novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan penggalan novel yang disajikan sebagai data pada hasil penelitian. Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan kegigihan sorang perempuan bernama Tuti dalam memperjuangkan hak-hak perermpuan.
Novel ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam novel ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur, juga termasuk masalah agama. Novel ini menampilkan cinta kasih antara Yusuf, Maria, dan Tuti.

Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan.

Ada beberapa bentuk emansipasi yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam novelnya, di antaranya aktivitas perempuan dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana mestinya, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang diperjuangkan oleh Tuti sebagai pelopor emansipasi wanita pada masanya.

Dalam hal berorganisasi, eksistensi kaum perempuan cukup diperhitungkan. Kaum perempuan dapat menjabat sebagai pucuk pimpinan dalam sebuah perkumpulan seperti yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui tokoh Tuti dalam novel “Layar Terkembang”. Bahkan, tokoh Tuti digambarkan sebagai representasi kaum perempuan yang menginginkan kebebasan berdiri sendiri menentukan nasibnya.

Kaum perempuan dalam novel “Layar Terkembang” sangat berpedoman dan bercermin pada kegigihan sosok Tuti. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti selalu mendapat sambutan hangat dari pendengarnya. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti pada forum-forum atau rapat maupun kongres tidak jarang membakar semangat kaum perempuan untuk berjuang menuntut haknya sebagai manusia.

Pada setiap kesempatan menyampaikan pidato, Tuti selalu menyinggung persoalan perempuan. Tuti selalu menggambarkan kondisi perempuan yang hitam dan kelam, bahkan lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, hidup sendiri, melainkan hanya sebagai hamba sahaya. Perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki yang seakan tidak mempunyai hak.


Dalam novel ini juga, tergambar pula pandangan Sutan Takdir Alisyahbana dalam menyikapi hubungan suami-istri dalam keluarga. Hal ini dapat kita lihat dari keteguhan hati dan sikap Tuti yang menginginkan hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni saling menghargai. Tuti tidak ingin menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki.

Dua tokoh utama wanita yang bersaudara dalam novel ini mempunyai perbedaan sifat dan perilaku yang memperkuat kesan perjuangan menuntut emansipasi wanita yang dilakukan oleh Tuti. Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai. Tuti adalah seorang wanita modern yang aktif dalam berorganisasi dalam perkumpulan perempuan, bahkan menjabat sebagai ketua. Dia selalu memikirkan nasib kaum perempuan yang menurutnya sangat tertindas. Sedangkan adiknya, Maria, tidak aktif sama sekali selain organisasi di sekolah.

Novel “Layar Terkembang” mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1920-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.

Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel “Layar Terkembang ditulis di era 1920-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya, wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam novel “Layar Terkembang”). Gambaran wanita tidak lagi pesimis yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.

Kehadiran novel ini pada masanya merupakan dorongan bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya, karena adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu kaum perempuan hanya bertugas membina rumah tangga. Akan tetapi, Sutan Takdir Alisyahbana membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada perjalanan karier Tuti.

Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berikut ini akan disajikan beberapa kutipan penggalan novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengindikasikan adanya bentuk emansipasi wanita yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya.

Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tidada pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.

(Layar Terkembang, 2002:8)

Dari kutipan penggalan novel di atas, dapat kita lihat sosok Tuti yang termasuk seorang aktivis organisasi perempuan yang menggambarkan emansipasi wanita. Bahkan Ia mendapat kesempatan untuk membacakan pidato pada sebuah kongres organisasi yang diadakan di Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh perempuan yang lain pada masa itu.

“Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-mana,” ujar Yusuf pula. “Zus masuk Putri Sedar jugakah?”
“Ah tidak,” jawab Maria. “Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan baru.”
“Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita? Keputrian Pemuda Baru, misalnya, baik benar bagi gadis-gadis yang masih sekolah.”
“Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai.”
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak. Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja? Apa-bila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama untuk kepentingan orang banyak.”

(Layar Terkembang, 2002:15)

Dalam kutipan penggalan novel di atas, dihadirkan sosok laki-laki yang mendukung keaktifan perempuan pada organisasi. Dalam percakapannya dengan Maria (adik Tuti), Yusuf berusaha memengaruhi Maria agar mau bergabung dengan perkumpulan pemuda menjadi anggota atau pengurus. Yusuf menganggap bahwa perkumpulan merupakan tempat belajar selain di sekolah.

“Sedikit hari lagi tiba libur…” kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada sambungannya, maka katanya. “Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk ujian lima belas hari lagi.”
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
“Jadi, Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan?”
“Ya,” Maria mengangguk.
“Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika sudah ujian itu nanti?”
“Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru.”
“Menjadi guru? Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita. Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insaf merasa menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya megucapkan selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu…”

(Layar Terkembang, 2002:17)

Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja. Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-anak bangsa yang cerdas dan pintar.

Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu kedengaran pula teriak orang, “Hidup Tuti! Hidup Tuti!” tiada berhenti-henti.

Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memcahkan bunyi tepukan itu sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.

Dalam sepi yang sepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah, “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.


“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.

(Layar Terkembang, 2002:34-40)

Kutipan penggalan novel di atas menggambarkan tekad Tuti yang merupakan representasi semangat perempuan yang ingin menuntut emansipasi. Kaum perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam pergaulan di masyarakat. Dalam pidatonya, Tuti menguraikan kondisi perempuan yang tertindas dan selalu berada di bawah perintah kaum laki-laki. Perempuan seakan tidak boleh bersuara dan berkehendak. Namun, Tuti berusaha mengajak kaum perempuan untuk bangkit dan mengejar hak-haknya sebagai manusia yang tiada berbeda dengan kaum laki-laki. Bahkan Tuti beranggapan bahwa bangsa ini hanya akan berubah jika derajat kaum perempuan dikembalikan sebagaimana mestinya.

Setelah Rukmanah turun, duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal hatinya itu, berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari.”
“Ah, dalam libur, apa salahnya!” kata Yusuf.
“Apa salahnya? Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan bahwa bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik.”

(Layar Terkembang, 2002:55)

Tuti memperlihatkan kejengkelannya pada adiknya Maria yang terlambat bangun. Bahkan Tuti mendebat Yusuf yang seakan mentolerir sikap Maria. Tuti beranggapan bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk itulah yang selama ini menyebabkan perempuan dipandang sebelah mata.

Di tengah-tengah mengawang dalam pelamunan tentang kecakapannya dan kelebihannya dari perempuan-perempuan lain itu, pedih rasanya tiba-tiba menyambuk ingatannya akan perselisihannya dengan Maria. Ia tidak mengerti akan perangai adiknya. Heran ia, bahwa sampai demikian perempuan dapat tertambat akan laki-laki. Maria bukan Maria lagi, ia telah menjadi bayang-bayang Yusuf. Tidak, ia tidak akan menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa itu. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain. Kalau tidak demikian, perempuan senantiasa akan menjadi permainan laki-laki. Dan daripada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya …. Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya.

(Layar Terkembang, 2002:75-76)

Tuti menyesalkan sikap adiknya, Maria, yang seakan menghambakan dirinya pada laki-laki. Maria sudah menggantungkan hidupnya pada Yusuf yang sangat ia cintai. Tuti menginginkan percintaan didasarkan atas dasar yang nyata, yakni sama-sama menghargai. Itulah sebabnya Tuti memilih memutuskan percintaannya dengan Hambali karena ia merasa Hambali hendak mengatur hidupnya. Bahkan, Tuti lebih memilih tiada bersuami jika tidak saling menghargai hak masing-masing.

…. Sekali-sekali ada juga kecewa hatinya menginsafkan betapa lambatnya berubah pekerti kaum perempuan yang dipimpinnya dan betapa kuatnya berurat-berakar berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang turun-temurun. Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani menanggung jawab akan segala perbuatannya.
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.

(Layar Terkembang, 2002:137-138)

Tuti merasa kecewa melihat kondisi perempuan yang sangat sulit diubah pekertinya. Tuti pun merasa sangat susah menembus kuatnya adat dan kebiasaan yang telah dianut turun-temurun. Namun, Tuti tetap berusaha memperkuat dirinya dan menenamkan keyakinan pada dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda setelah membaca isi blog ini.