Senin, 27 September 2010

Cerpen "Hidup di Persimpangan Jalan"

Karya: Abdullah

“Etta, pulangmi Nurdin!” Seru adikku ketika melihatku dari arah kejauhan. Kulihat kedua ettaku bergegas keluar dari dalam rumah hendak menyambutku. Ada keceriaan dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka. Aku juga melihat titik-titik air yang keluar dari mata air air mata etta makkunraiku, tapi aku yakin itu adalah keharuan seorang ibu. Adikku membantuku mengangkat barang-barang yang aku bawa. Aku digiring masuk ke dalam rumah. Semua peristiwa tadi sore masih jelas di ingatanku.

Kini aku duduk menyendiri di beranda depan rumahku. Semilir angin malam menyapa tubuhku dan merasuk hingga ke sumsum tulangku yang paling dalam. Kutarik sarung yang menutupi kakiku hingga menyelimuti tubuhku, walau aku harus melipat kakiku. Kini tinggal kepalaku yang kelihatan menyaksikan suasana malam pedesaan yang sepi dan sunyi. Daerah yang jauh dari jangkauan gemerlap cahaya lampu jalan dan deru mesin yang terasa bising di pendengaran. Yang ada hanya cahaya rembulan dari sela-sela daun pohon rindang di depan rumahku dan suara binatang malam yang seakan mengalun. Entah lagu apa yang didendangkannya?

Ini malam pertama aku di desa setelah sekian lama meniti garis antartitik mencari kesejatian diri di kota. Tak banyak yang aku bawa pulang. Hanya sedikit bingkisan untuk kedua ettaku dan adikku satu-satunya. Tampaknya mereka tidak mengharapkan apa-apa dariku. Aku sudah pulang, itu saja sudah cukup bagi mereka. Tapi aku bisa berbangga karena telah banyak pengalaman yang aku dapatkan selama penitianku.
Lika-liku kehidupan yang rumit tak lepas dari pengamatanku. Masih jelas di benakku orang-orang membawa alat musik sambil memainkannya, mereka berkeliling kota sambil menjajakan suara yang tidak begitu merdu di setiap sudut kota. Ada juga sekelompok bocah, lato, dan kajau yang membawa kaleng bekas di depan traffic light.

Sementara itu, gedung-gedung mewah berbaris seakan menggambarkan kesejahteraan penduduk kota. Tapi siapa yang menyangka kalau di balik kemewahan itu, pemandangan yang kita temukan justru jauh lebih memprihatinkan dari sekelompok bocah, lato, kajau, dan, pengamen di jalanan. Dengan dalih kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja. Banyak lelaki yang bekerja sebagai juru masak, dan tak sedikit lelaki yang bekerja sebagai penata rias. Bukan itu yang memilukan hati, melainkan tingkah laku mereka yang menyerupai perempuan.

Kala malam tiba, gelap menyelimuti cakrawala, mereka keluar sekedar memenuhi kebutuhan lainnya. Rupanya mereka belum puas dengan apa yang mereka dapatkan dari bekerja seharian. Mereka bak artis papan atas bersaing mencari fans. Di sudut-sudut kota yang jauh dari gemerlap lampu jalan yang menyibak kegelapan malam, mereka bercengkrama dengan lelaki hidung belang yang kebanyakan telah beristri dan bahkan sudah punya anak. Sudah berapa banyak hak perempuan yang mereka ambil?

Tak herah kalau kaum perempuan sudah mulai turun ke jalan mengibarkan bendera emansipasi. Mereka ingin menuntut hak. Mereka berarak bak pawai berkeliling kota masih dengan bendera emansipasi. Tapi emansipasi dalam bentuk apa, jika tak jarang mereka ditemukan berduaan dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam kamar hotel yang mewah?

***

Kebutuhan demi kebutuhan yang mendesak menjadi alasan para waria itu bekerja siang dan malam. Siang hari mereka lalui dengan bekerja di dalam gedung mewah menggunakan keterampilan dan keahlian mereka. Malam hari mereka lewati dengan melenggok dan melenggang di depan lelaki hidung belang bak peragawati menawarkan kenikmatan. Tapi tidak sedikit juga di antara waria itu yang berdalih bahwa mereka memang dilahirkan dengan perasaan dan jiwa seperti kaum perempuan pada umumnya. Kalau memang itu benar, mengapa mereka tidak menjadi bissu saja?

Tak luput juga dari perhatianku, aparat keamanan yang tiap malam mengadakan razia di setiap tempat hiburan malam dan sudut-sudut kota. Mereka berkejar-kejaran dengan para pekerja seks komersial. Baik itu perempuan, maupun lelaki yang menyerupai perempuan. Tapi aku heran. Mengapa mereka bisa saja lolos dari razia itu? Bahkan keesokan harinya, ketika sang surya kembali menyinari cakrawala, burung-burung berkicau menyamput pagi yang indah, mereka kembali berkemas hendak bekerja. Tentu saja dengan dandanan mereka yang seperti Madona ataukah Britney Spears, seakan semalam mereka tak terjaring razia. Ataukah aparat keamanan juga sudah dapat bagian?

Pertanyaan demi pertanyaan terasa membengkak di benakku. Jawaban yang aku dapat harus kembali kepada kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin meningkat dan mendesak kita untuk berlomba mencapai puncaknya. Seperti yang dialami oleh salah seorang temanku semasa SD dulu, Firman, yang kini telah mengganti namannya menjadi Firma.

Masih segar di ingatanku, bagaimana dulu Firman adalah cerminan lelaki yang kuat dan kekar. Bahkan beberapa remaja perempuan di desaku pada saat itu memujanya. Mereka tertarik pada Firman. Beberapa di antara mereka terkadang berkata, “Man, kalau besarki’ nanti, maukiga jadi pacarku?” Tentu saja Firman merasa malu. Sementara aku cemburu setiap gadis-gadis di desaku menghampiri kami yang sedang mallogo di halaman rumah.

Anganku terus melayang membuka lembaran-lembaran diary kehidupan yang telah aku gores dengan tinta perjalananku. Aku tak mampu membuang memoriku tentang Firman. Aku teringat setiap kali kami mallogo di halaman rumah pada sore hari sepulang dari mengaji. Di saat-saat seperti itulah, biasanya Jamila, waria yang ada di desaku lewat. Spontan saja, Firman pergi sambil berkata, “Cilaka! Tidak dapatki’ lagi berkah empat puluh hari.” Seperti itulah anggapan orang-orang di desaku setiap kali bertemu dengan waria.

Kini Firman telah banyak berubah. Terakhir aku bertemu dengannya di sebuah salon saat aku hendak merapikan rambutku. Aku hampir tak mengenalnya seandainya bukan dia yang lebih dulu menyapaku. Saat itu, aku berusaha menyadarkannya. Tapi seperti yang lainnya, dia ingin hidup lebih mewah. Berulang kali aku membujuknya untuk bekerja sebagaimana layaknya seorang lelaki, tapi jawaban yang aku dapatkan tetap sama.

“Firman, kenapaki’ berbuat seperti ini?” Tanyaku pada Firman.
“Ssstt… Janganki’ keras-keras. Nanti nadengar orang. Bukanmi Firman namaku, tapi Firma.” Dengan gayanya yang khas waria dia menarikku ke tempat duduk. Dia memandang sekeliling ruangan. Rupanya dia tidak ingin diketahui identitasnya oleh teman-teman dan para pelanggannya. Tentu saja aku geli melihat tingkah lakunya. Tapi aku menyembunyikan gelagatku. Aku tidak ingin dia tersinggung.
“Terpaksaka’, Din. Sudah lamaka’ hidup di kota, tapi kehidupanku tetap saja seperti di desa. Mauka’ hidup mewah. Lagipula kerja begini lebih mudah. ‘Ndak perlu mengeluarkan tenaga yang banyak.”
“Apa ‘ndak muingat kalau dulu sangat kita benci bencong. Walau hidup bencong kelihatan mewah, tapi tetap sajaki’ anggap semua itu ‘ndak ada berkahnya. Bahkan seringki’ menghindar kalau bertemuki’ dengan bencong.”
“Itu dulu, Din, sebelumki’ melaluinya. Sekarang baruka’ rasakan, betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk tetap bertahan hidup. Nah, kalau adami jalan keluarnya, Kenapaki’ tidak lewati saja?”
“Lantas, sampai kapanki’ terus begini?”
Tanyaku lirih.
“’Ndak kutahumi, Din. Yang jelasnya, sekarang sudah bahagiama’ dengan pilihan hidupku.”

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Firman. Rupanya tekadnya betul-betul sudah bulat. Aku tak mampu menyadarkannya.

“Bagaimana dengan pekerjaanta’, Din?”
“Masih seperti duluka’. Rasanya ‘ndak ada bedanya tinggalka’ di desa sama di kota.”
Sebenarnya aku malu menuturkan hal itu pada Firman, tapi aku rasa bahwa aku masih lebih berharga daripada dia.
“Tidak berminatki’ seperti aku? Adami rumah sendiri, usaha sendiri, dan ‘ndak lagi bergantung pada orang lain.”
“Apa? ‘Ndak, Firman! Sedikitpun tidak tergodaka’ oleh kemewahanta’. Masih lebih jauh berhargaka’ daripada bencong yang demi kemewahan, rela menistakan diri. Ini siri, Firman.”
Aku meninggalkan Firman dengan segudang impiannya. Aku hanya bisa berharap, semoga Firman bisa menyadari apa yang telah ia perbuat.

Firman, sahabat kecilku, yang dulu sangat antipati terhadap waria, kini justru telah menjelma menjadi waria. Belum lekang di benakku tentang Firman yang selalu menghindar pada Jamila. Tiba-tiba aku teringat Jamila. Dimana dia sekarang? Aku beranjak dari tempat dudukku mencoba menyelidik ke luar, ke arah rumah mewah yang ada di depan rumahku. Di balik jendela, aku bisa melihat seorang lelaki tua sedang berjalan bungkuk. Benarkah itu Jamal yang dulu dikenal sebagai Jamila?

Aku perhatikan dari jauh. Ternyata benar, dia adalah Jamila. Kini dia sudah tua dan hidup sendiri di rumah mewah itu. Dia tidak punya keturunan yang bisa merawatnya. “Kasihan dia.” Bisikku lirih. Aku terus saja memperhatikan Jamila hingga timbul lagi pertanyaan dalam benakku. “Kalau waria tidak punya keturunan, bagaimana mereka bisa berkembang?”

***

Malam semakin larut. Udara terasa semakin dingin mengibarkan sarung yang menyelimuti tubuhku. Aku tak mampu lagi menahan dinginnya angin malam. Tiba-tiba suara ettaku terdengar memanggil. Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di tengah-tengah keluargaku. Tampaknya ada hal yang sangat penting yang ingin mereka bicarakan.

”Mauka’ bicara denganta’, Aco.” Terdengar suara etta buraneku memulai pembicaraan.
“Kenapaki’, Etta?”
“Ini menyangkut pendidikan adekmu, Ecce.”
Ettaku mengentikan sejenak pembicaraannya. Setelah menelan ludah yang menghalangi tenggorokannya, kemudian dia melanjutkannya kembali. “Tamatmi SMA adekmu. Maui kuliah. Sementara tidak bisaka’ lagi biayai kuliahnya.”

Aku hanya mampu terdiam dan tertunduk lesu ketika mendengar kata-kata ettaku. Aku sudah mengerti maksudnya. Tapi bagaimana aku bisa mewujudkan semua keinginan ettaku kalau gaji yang aku dapatkan selama ini sebagai seorang pegawai kecil di instansi hanya cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Aku juga tidak ingin mengecewakan kedua ettaku yang telah membanting tulang demi mewujudkan cita-citaku.

Aku menyesali diriku yang hanya pegawai kecil. Pikiranku semakin tak tenang, tapi aku berusaha bersikap tenang di hadapan kedua ettaku. Aku menyanggupi permintaan mereka. Aku tidak ingin dikatakan anak yang tidak tahu membalas budi kepada orang tuanya.
“Oh, Tuhan. Aku hanyalah seorang pegawai kecil. Haruskah aku berjuang keras untuk memenuhi kebutuhanku dan adikku, seperti yang dilakukan sahabat kecilku, Firman? Lalu, ettaku akan memanggilku ‘Ecce’.”


***

Lagosi, 17 Pebruari 2009

Catatan:

Aco : Sapaan orang tua terhadap anak laki-lakinya.
Bissu : Komunitas adat orang Bugis yang terdiri dari kaum waria yang merupakan orang kepercayaan raja.
Ecce : Sapaan orang tua terhadap anak perempuannya.
Etta : Sapaan orang Bugis untuk orang tua.
Etta burane : Ayah
Etta makkunrai : Ibu
Kajau : Perempuan yang sudah tua renta.
Lato : Laki-laki yang sudah tua renta.
Mallogo : Sejenis permainan rakyat orang Bugis.
Siri : Malu/memalukan. Dalam budaya Bugis, pantang orang-orang menyandang perasaan siri dan melakukan perbuatan yang membuahkan siri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda setelah membaca isi blog ini.