Senin, 27 September 2010

Menanti Aksi Tokoh Perdamaian Dunia

Abdullah

Pemilu presiden telah berlalu dan presiden terpilih pun sudah menjabat selama hampir satu tahun. Tentu saja presiden terpilih adalah pilihan rakyat secara murni karena dipilih secara langsung, bukan melalui perwakilan di parlemen. Namun sepertinya rakyat tidak puas dengan pilihannya. Ini dibuktikan dengan maraknya aksi unjuk rasa, bahkan tidak jarang menuntut presiden mundur dari jabatannya.

Sejak dilantinya presiden dan wakilnya, sudah banyak digelar aksi unjuk rasa, mulai dari kasus Bank Century, kenaikan tarif dasar listrik, sampai hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus terakhir inilah yang menyebabkan popularitas presiden turun menurut beberapa lembaga survey yang telah merilis temuannya akhir-akhir ini. Berbagai komentar rakyat bermunculan tentang presiden yang dianggap tidak tegas dalam menyikapi persoalan dengan Malaysia. Bahkan tidak sedikit rakyat yang menuding presiden penakut karena tidak berani menghadapi negara-negara lain.

Mendengar beberapa komentar dari rakyat, tentunya kita heran dan tercengang karena ini berbeda dengan sosok presiden yang kita kenal sebelumnya. Sang presiden sebagai ikon negara telah tercatat sebagai salah satu orang yang berpengaruh di dunia menurut salah satu majalah internasional. Lebih mengherankan lagi rakyat yang menuntut presiden mundur karena dianggap penakut, padahal kebanyakan mereka memilih presiden dulu karena dianggap berwibawa. Jika presiden kita berwibawa, tentunya negara lain tidak akan merampas kedaulatan negara kita.

Tak ada yang patut dipersalahkan dalam kasus ini terkait sikap presiden yang memilih berdiplomasi daripada menempuh jalur perang. Sikap presiden tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Masih banyak saudara kita bekerja di sana sebagai TKI. Jika jalur perang dipilih, tentunya banyak korban dari pihak kita, termasuk dalam hal pekerjaan. Rakyat pun tidak mau kalah karena selalu bercermin pada sikap presiden yang menyerukan mengganyak Malaysia, seperti yang sering ditayangkan di layar kaca.

Sebenarnya, pangkal persoalan yang kita hadapi sangat jelas. Negara kita butuh tokoh yang mampu meredam dan mendamaikan kedua belah pihak. Namun sampai detik ini, baik rakyat maupun pemerintah, tampaknya belum ada yang menemukan sosok tokoh perdamaian. Padahal, negara lain pernah menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa bidang perdamaian pada salah seorang mantan wakil presiden kita. Tentu saja gelar itu bukan sekadar pemberian, melainkan penghargaan pada orang yang dianggap memiliki kapasitas dalam hal perdamaian dunia yang cukup disegani.

Secara historis, mantan wakil presiden kita memiliki hubungan kekerabatan dengan Perdana Menteri Malaysia yang menjadi ikon negara tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa keduanya adalah perantau yang mengadu nasib di negeri orang. Keduanya diikat dengan tali persaudaraan suku Bugis-Makassar. Berikut kutipan penggalan puisi yang ditulis oleh Udhin Palisuri, seorang sastrawan dan budayawan Sulawesi Selatan.

Yang amat terhormat
Datuk Najib
Timbalan jadi perdana menteri
Leluhur dari Gowa
Istri orang Padang

Yusuf Kalla
Wakil presiden
Leluhur dari Bugis
Istri orang Padang

(Dibacakan pada Pembukaan Festival Budaya Serumpun Melayu tahun 2009 di Makassar)


Pertalian ini tentunya dapat dijadikan sebagai suatu referensi untuk mempertemukan keduanya dalam satu meja membicarakan persoalan kedua negara yang akhir-akhir ini bersitegang. Dalam raga keduanya, tentu masih mengalir darah Bugis-Makassar dengan keteguhan hatinya memegang prinsip “Sebenci-bencinya pada saudara sekampung, jika bertemu di perantauan, akan berdamai jua.” Kini kita tinggal menanti aksi tokoh perdamaian dunia yang telah mewakafkan hidupnya untuk kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda setelah membaca isi blog ini.