Sabtu, 12 Desember 2009

Seleksi CPNS Memupuk Loyalitas Calon Abdi Negara

Abdullah

Seorang sarjana lulusan perguruan tinggi meminta tolong kepada kemanakannya yang baru duduk di bangku kelas XII SMA untuk dibuatkan surat lamaran yang berisi permohonan mengikuti ujian CPNS. Maklum, Sang Paman sudah lama meninggalkan kampus hingga mungkin ia ragu pada keindahan tulisannya. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang sulit bagi siswa SMA karena sudah menjadi santapan segar sejak mengikuti bimbingan Ujian Nasional. Dari 50 butir soal, 3 di antaranya tentang surat lamaran yang selalu muncul setiap tahunnya. Namun ternyata apa yang dibayangkannya tidak seperti yang ia hadapi. Sang Paman menyodorkan sebuah contoh surat lamaran yang dikeluarkan pihak penyelenggara. Lama Sang Kemanakan tertegun menyaksikan contoh surat lamaran tersebut silih berganti dengan contoh surat lamaran yang dipelajarinya di sekolah. Dalam benaknya terlintas sebuah tanda tanya, “Yang mana salah dan yang mana benar?”


Tanggal 12 Desember 2009, hari yang menentukan masa depan sebagian besar rakyat Indonesia. Betapa tidak, sekitar ratusan ribu rakyat Indonesia mengadukan nasibnya pada Ujian CPNS yang diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merupakan cerminan angkatan kerja yang siap menjadi abdi negara demi menyambung hidup. Ini belum seberapa dibandingkan dengan penerimaan CPNS tahun-tahun sebelumnya karena secara administrasi, persyaratan mengikuti ujian kali ini lebih tinggi dibandingkan dengan pelaksanaan sebelumnya. Salah satu yang mencolok yaitu kualifikasi pendidikan yang sebelumnya dapat diterima dari lulusan SMA, namun kali ini hanya diterima dari alumni D-3 atau S-1, kecuali formasi tertentu yang bersifat keterampilan dan prestasi non akademik.

Sekilas tampak kualifikasi pendidikan sebagai syarat mendaftar pada formasi jabatan yang ditawarkan terkesan akan meningkatkan kualitas abdi negara. Tentunya hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang menjadi tugas pokok sebagai abdi negara. Namun benarkah harapan-harapan itu terwujud setelah proses perekrutan rampung?

Menilik proses perekrutan, tampak suatu fenomena yang sangat miris. Pihak penyelenggara terkesan meragukan kemampuan para calon pendaftar. Salah satu bukti ketidakpercayaan penyelenggara pada calon pendaftar sangat jelas pada contoh surat lamaran yang dikeluarkan oleh penyelenggara. Kehadiran contoh surat lamaran tersebut memang memudahkan calon pendaftar dalam melengkapi berkas permohonan, namun terlepas dari itu, contoh surat lamaran tersebut mengungkung kreativitas calon pendaftar.

Pihak penyelenggara mestinya mengingat bahwa para calon pendaftar ini adalah orang-orang intelek yang berjiwa dan berpikir ilmiah, bukan masyarakat awam yang tak pernah melihat surat lamaran. Jangankan sarjana atau diploma, siswa SMA saja dituntut mampu membuat surat lamaran pekerjaan. Setidaknya seorang sarjana atau diploma mampu berimprovisasi dalam menyusun sebuah surat lamaran. Jika surat lamaran saja tak mampu dibuat, bagaimana para calon aparat ini mampu memberikan pelayanan administrasi pada publik setelah terangkat nantinya?

Mencermati contoh surat lamaran yang dikeluarkan penyelenggara, terdapat banyak kesalahan baik dari teknik penulisan maupun dari unsur kebahasaannya. Sebagai contoh kesalahan yang terdapat dalam surat lamaran tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut.
MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPADA BAPAK UNTUK MENGIKUTI UJIAN SELEKSI CPNS ….
Sumber: Contoh surat lamaran CPNS Kab. Wajo

Jika kita cermati dari tataran sintaksis, penggunaan kata “MENGIKUTI” pada kutipan contoh surat lamaran di atas tidak benar, karena dalam konteks kalimatnya, kata tersebut memiliki makna bahwa pemohon bermohon agar “BAPAK” yang mengikuti ujian, padahal yang dimaksud “BAPAK” pada surat tersebut adalah bupati sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah. Seharusnya kata yang digunakan adalah “MENGIKUTKAN SAYA PADA”, karena yang akan mengikuti ujian adalah pemohon yang berstatus sebagai calon pendaftar, sedangkan “BAPAK-lah” yang memiliki kewenangan memberikan izin kepada pemohon untuk mengikuti ujian.

Selain itu, tipografi contoh surat lamaran tersebut pun sudah semestinya tidak digunakan. Tipografi surat yang digunakan yaitu bentuk surat resmi Indonesia lama yang menempatkan alamat yang dituju pada bagian kanan. Sementara tipografi surat resmi Indonesia baru menempatkan alamat yang dituju pada bagian kiri.

Tidak hanya kesalahan itu yang muncul. Bahkan, penulisan kata serapan dan penggunaan afiksasi sebagai bentuk kebakuan bahasa pun tidak diperhatikan dalam penulisan contoh surat lamaran tersebut. Fenomena ini sudah sangat bertentangan dengan proses pembelajaran surat lamaran di sekolah. Inilah yang terkadang membuat siswa acuh tak acuh belajar karena merasa tak ada gunanya berteori panjang-lebar kalau pada akhirnya tak digunakan juga.

Kesalahan pada contoh surat lamaran yang dikeluarkan oleh penyelenggara di Kabupaten Wajo kemungkinan terjadi pula di daerah lain di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menggelar ajang pertaruhan nasib ini. Jika benar itu yang terjadi, bagaimana publik dapat menitipkan harapan mereka pada calon abdi negara ini? Ini merupakan suatu fenomena yang jauh dari harapan publik yang akan menikmati pelayanan abdi negara tersebut.

Fenomena ini tentu sudah tidak sejalan dengan proses dan tujuan perekrutan yang dilaksanakan seperti yang diungkapkan sebelumnya. Bukannya kualitas pelayanan publik yang ingin ditingkatkan, melainkan hanya sekedar memupuk loyalitas calon aparat pada penguasa. Terlebih setelah melihat jenis soal yang mendominasi butir soal Ujian CPNS yakni Skala Kematangan yang substansinya tentang proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan.

Tidak menutup kemungkinan ada di antara calon peserta yang menyadari kekeliruan seperti kesalahan pada contoh surat lamaran tersebut, tetapi karena takut tidak lulus seleksi berkas, akhirnya memilih mengikuti saja contoh tersebut. Hal ini dilakukan untuk membuktikan loyalitas mereka pada pemerintah sebagai penguasa agar dapat dipilih menjadi abdi negara, hingga lahirlah semboyan ABS (Asal Bapak Senang).

Bukan baru kali ini kesalahan itu terjadi, karena contoh surat lamaran tersebut selalu hadir setiap penyelenggaraan ajang pertaruhan nasib ini. Bukan tidak mungkin contoh itu pula yang selalu hadir setiap tahun dan itulah yang diikuti oleh semua calon pendaftar. Ironisnya, di antara calon pendaftar itu, tidak sedikit yang mempunyai kualifikasi pendidikan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mendaftar pada formasi jabatan Guru Bahasa Indonesia, baik di SMP maupun SMA. Apakah mereka tidak tahu kesalahan itu, atau pura-pura tidak tahu karena menjunjung prinsip ABS? Hal ini pun menggambarkan kualitas pendidikan di negara kita.

Bagaimana para calon guru Bahasa Indonesia tersebut mengajarkan Bahasa Indonesia kepada siswa di sekolah setelah terangkat jika mereka tidak tahu persoalan kebahasaan. Kehadiran guru semacam ini di hadapan siswa akan menurunkan tingkat kepercayaan siswa terhadap guru hingga berakibat siswa malas belajar. Lebih-lebih setelah siswa menyadari bahwa ilmu yang didapatkannya di sekolah sangat berbeda dengan penerapan di lapangan pekerjaan. Maka jangan heran jika siswa turun menuntut pelaksanaan Ujian Nasional dihapuskan karena menganggap bahwa negara kita tidak lagi membutuhkan pendidikan yang berkualitas.

Fenomena ini harus diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah harus membangun sinergi antara semua elemen bangsa, terutama antara bidang pendidikan dan pekerjaan agar kualitas sumber daya manusia yang diterjunkan di lapangan pekerjaan dapat ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda setelah membaca isi blog ini.